Young and Cold Blooded-Murderer

A silhouette of a hand holding a knifeMuda bukan berarti tak bisa membunuh. Itulah yang dilakukan sepasang anak muda di Jakarta. Keduanya belum genap berumur 20 tahun dan merupakan sepasang kekasih. Korbannya juga gadis muda yang tragisnya adalah mantan pacar sang cowok. Gadis muda itu dibunuh di dalam mobilnya dan ditinggalkan di pinggir jalan.

Motif pembunuhannya juga sepele. Sang cowok merasa sakit hati karena mantan kekasihnya itu tak mau lagi ditemui setelah putus. Sedangkan kekasih pelaku yang juga terlibat mau melakukan pembunuhan karena takut sang kekasih direbut kembali oleh mantan pacarnya. Karena cemburu dan dendam jadilah mereka pembunuh muda berdarah dingin.

Bangsa kita memang berubah menjadi bangsa yang mudah marah. Tak segan merusak, melukai bahkan membunuh.  Tawuran, gang motor atau kasus pembunuhan seperti di atas makin sering terjadi. Di kota saya tinggal, Bogor, akhir tahun lalu sepasang remaja duel di pinggir jalan tol dengan menggunakan senjata tajam. Satu tewas dengan perut terkoyak sedangkan lawannya kritis di rumah sakit. Itu bukan kejadian pertama karena masih banyak kejadian-kejadian tawuran lain yang berujung kematian. Sebagian terekspos, sebagian besar tidak.

Bila pembaca ingat tahun lalu seorang anak muda menabrakkan mobilnya ke kerumunan siswa-siswi di sebuah sekolah di Sidoarjo. Sang anak muda yang baru menemui pacarnya di sekolah itu marah setelah ditegur oleh satpam sekolah. Balasannya mengerikan. Ia tabrakkan mobilnya ke kerumunan siswa di sekolah itu. Sejumlah siswa luka, seorang bahkan kritis.

Kekerasan demi kekerasan terus berlanjut di tanah air. Pelakunya pun banyak berusia muda. Mungkin bila senjata api mudah diperjualbelikan kasus penembakkan massal seperti yang sering terjadi di Amerika Serikat bisa kejadian di Indonesia.

Ada dua penyebab mengapa kaum muda di tanah air gemar melakukan kekerasan; Pertama, kegagalan pendidikan karakter/kepribadian di keluarga, masyarakat dan sekolah. Dunia pendidikan – apalagi formal – lebih mementingkan prestasi akademik ketimbang membangun pribadi yang soleh. Terjadilah ketimpangan kepribadian; cerdas pikir tapi keras hati.

Ini sudah diawali semenjak iman dan takwa tidak menjadi landasan pendidikan karakter. Mengapa? Karena dengan keimanan yang benar kaum muda akan menghargai nyawa dan kehormatan orang lain. Dalam al-Quran disebutkan bahwa hilangnya satu nyawa yang tak berdosa sama dengan hilangnya seluruh nyawa yang ada di dunia.

Pelajaran agama yang ada sekarang tak lebih dari hafalan belaka. Siswa-siswa belajar agama karena untuk menghadapi ujian, bukan karena dorongan ingin menjadi orang yang baik. Biarpun buku pelajaran agama dibaca ratusan kali tetap tak akan berpengaruh bila hanya menjadi hafalan belaka.

Kedua, tak ada hukum yang ditakuti lagi. Hukum yang ada tak memberikan efek jera dan sungguh amat mudah lolos dari jeratnya. Anak muda yang berasal dari keluarga kaya dan pejabat bisa mudah mendapatkan keringanan atau bahkan lolos dari jerat hukum. Kecelakaan maut yang melibatkan anak menteri di negeri ini cepat dilupakan dan pelakunya pun hanya mendapat sanksi yang ringan.

Bila kondisi ini dibiarkan hakikatnya kita sedang mencetak generasi-generasi pembunuh berdarah dingin. Kaum muda yang ‘sumbunya’ pendek alias gampang marah dan tak takut melampiaskannya dengan cara kekerasan. Ngeri.

Sudah saatnya kita memfokuskan diri pada pembinaan karakter yang kini timpang. Menjadikan dien Islam sebagai landasan pendidikan di semua lini. Sembari tentu saja memberlakukan sistem sanksi sesuai syariat Islam yang efektif melindungi masyarakat karena efek jeranya yang tinggi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.