Ibu Tangguhkah?

paulus-widiatmokokasih-ibu-di-hari-yang-fitri_1298_lMata wanita itu berkaca-kaca. Sesekali ia mengusap air matanya. Pandangannya tertuju pada seorang gadis muda yang baru saja diwisuda. Anggun. Berbusana muslimah. Menjadi lulusan terbaik. Lebih spesial lagi, ia hafidzah. Gadis itu adalah putrinya.

Usai prosesi wisuda beberapa ibu menghampiri wanita tadi. Mereka bertaniyah. Takjub dengan prestasi putrinya.

“Aduh selamat, ya Jeng. Subhanallah, luarbiasa prestasi putrinya. Sudah pinter ditambah solehah pula,” kata seorang ibu berkerudung merah muda sambil berjabat tangan dan sun pipi di antara keduanya.

“Iya, benar-benar ibu tangguh. Padahal saya tahu ibu ini sibuk sekali. Mubalighah dan sering keluar kota, tapi luar biasa bisa mencetak anak solehah seperti itu,” tutur yang lain.

“Iya, gimana caranya sih?” yang lain jadi penasaran.

Wanita itu terdiam. Sepertinya ia menahan berbagai perasaan dalam hatinya. Dia seperti ragu untuk mengucapkan sesuatu.

“Kenapa, bu? Kasih tahu kita dong bagaimana caranya? Pasti ibu ini telaten mendidik anak dan mengasuhnya sejak kecil ya?” ibu-ibu semakin riuh bertanya dan merapat.

Di luar dugaan wanita itu menundukkan kepala. Tangannya mulai mengusap air matanya yang seperti tak terbendung. Hidungnya pun mulai basah.

Ibu-ibu yang berkerumun menjadi tercekat. Kebingungan.

“Saya mau buka rahasia selama ini yang terjadi,” kata wanita itu dengan suara terbata-bata.

“Sebenarnya saya bingung kalau dibilang tangguh. Seperti yang ibu-ibu tahu saya memang sibuk di luar rumah. Saya banyak mengayomi masyarakat. Membimbing mereka.

Maka sebenarnya saya banyak meninggalkan suami dan anak-anak saya semenjak mereka kecil. Kadang saya ajak mereka ikut ke acara-acara saya. Tapi lama kelamaan mereka tidak betah, akhirnya saya titipkan ke suami atau tetangga saya. Saya bisa berangkat pagi dan pulang sore. Termasuk di akhir pekan saya sering keluar kota meninggalkan mereka. Semata untuk mengurus masyarakat,” wanita itu berusaha tegar dalam kalimat-kalimatnya. Sesekali ia menarik nafas panjang coba mengusir perasaan galau dalam hatinya.

“Suami sayalah yang sebenarnya sabar dan tangguh. Ia rela di sore hari usai pulang kerja, atau di hari libur mengasuh anak-anak saya. Memandikan, menceboki, terkadang menyuapi mereka. Bahkan kalau malam hari tiba suami saya yang menidurkan mereka. Saya sudah lelah untuk mengurus anak-anak saya di malam hari. Belum kalau saya harus menyiapkan makalah untuk acara-acara saya yang padat, saya minta mereka bermain dan belajar dengan abi-nya..

Suami saya, masya Allah begitu sabar dan tangguh. Termasuk saat malam hari anak saya terbangun, suami saya yang sigap mengurusnya. Membuatkan susu atau mengantarnya ke kamar mandi. Suami begitu memaklumi kalau saya memang dibutuhkan masyarakat, harus bangun subuh dan berangkat ke berbagai kegiatan. Pagi haripun abi-nya yang menyiapkan sarapan sebelum berangkat ke kantor,” sang ibu kembali terhenti bicara karena merasa dadanya sesak.

Ibu-ibu yang lain masih mengerumuninya. Mereka penasaran, heran tapi sebagian mulai mengernyitkan dahi.

“Anak-anak saya juga begitu tabah dan tangguh. Mereka seperti tahu umi-nya sibuk. Maka mereka juga jarang menghampiri saya kalau saya pulang ke rumah. Mereka selalu bertanya dulu kalau ingin mendekati saya, ‘Umi lagi sibuk, nggak?’ kalau mereka melihat saya sedang berada di depan laptop atau memegang handphone, mereka segera mundur dan mendekati abinya atau kakaknya. Subhanallah, mereka kok bisa begitu.

Saat mereka mulai remaja, saya mendesak abinya agar memasukkan anak-anak kami ke boarding school, agar mereka mandiri, belajar agama dari para ustadz yang terpercaya dan menghafal al-Quran.”

Wanita itu kembali melanjutkan, “Maka semenjak SMP sampai SMA mereka berada di asrama. Saya menengok mereka setiap dua bulan atau liburan semester. Sesekali saya menelepon mereka. Apa kata mereka? ‘Umi, semoga umi sehat dan bisa mengurus masyarakat. Sudah ya, aku nggak mau ganggu umi, aku juga mau menghafal al-Quran. Aku sayang abi dan umi’

Saya kadang tertegun. Apakah mereka marah kepada uminya, atau mereka rido. Tapi suami saya selalu menghibur saya dan mengatakan mereka akan baik-baik saja.”

“Beberapa tahun sudah lewat, satu persatu anak-anak kami beranjak dewasa. Mereka pandai-pandai dan penghafal al-Quran. Saya sangat bersyukur, bersyukur kepada Allah mereka bisa seperti itu. Sampai kemudian saya seperti ditampar…” wanita itu tidak melanjutkan ceritanya.

“Ditampar kenapa, jeng?”

“Saya teringat dengan pesan Nabi SAW., ‘Siapa yang diuji Allah dengan anak-anak perempuannya, maka baginya penghalang dari api neraka’ saya merenungkan hadits ini; apakah saya sudah benar-benar diuji dengan anak-anak perempuan saya? Saya khawatir kalau jangan-jangan bukan saya yang banyak diuji Allah dengan kehadiran anak-anak kami, tapi abinya, suami saya.

Benar saya yang mengandung, melahirkan dan menyusuinya, tapi setelah itu rasanya saya tidak banyak mengasuh mereka. Saya lebih banyak menitipkan pada suami, orang tua, tetangga, dan para ustadz di sekolah mereka.

Saya jadi takut kalau anak-anak saya sekarang bisa sukses, bukan karena peran saya tapi peran orang lain. Saya sekedar melahirkan dan menyusui saja. Lalu apalagi pahala saya dari pengasuhan anak-anak saya?” wanita itu mulai meratap.

Ibu-ibu yang lain jadi bingung. Ada  yang bergidig, ada yang memeluknya mencoba menenangkannya.

“Sekarang saya merasa kehilangan tahun-tahun bersama anak-anak. Saya hampir tidak pernah mengantar mereka ke sekolah. Memasakkan makanan kesukaan mereka, memberi tausiyah pada mereka, memeluk mereka saat sakit, justru abinya yang banyak melakukan itu. Suami saya lebih tahu keinginan anak-anak saya. Bahkan saat anak-anak kami sakit, suami saya yang berkorban mengurus mereka. Termasuk izin tidak masuk kerja karena merawat anak-anak.”

“Jadi, bukan saya yang tangguh; tapi suami saya dan anak-anak saya yang sebenarnya tangguh. Saya malu, ya Allah!”

Wanita itu kemudian jatuh terduduk lemas. Ibu-ibu panik. Ada yang langsung menahannya, ada yang berteriak minta bantuan. Subhanallah!

2 Comments

Ratu

Ust, afwan terkait dg tulisan Ibu tangguhkah?. Maka sebetulnya bagaimana seharusnya seorang ibu, apakah maksud dari tulisan itu,, ibu tersebut kebablasan?. Suami yang tidak tepat atau bagaimana ya.. Mohon pencerahannya

Reply
Iwan Januar

Ya benar, jangan sampai seorang ibu kebablasan dalam pencapaian diri sehingga lupa akan kewajiban pokoknya sebagai istri dan ibu yang harus jalani kehidupan sesuai syariat. Seperti kewajiban taat dan melayani suaminya, juga mendidik anak-anaknya

Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.