Akhirnya di penghujung tahun 2018 lalu, dengan izin Allah, saya kembali bisa merilis sebuah buku baru; HADHANAH – Risalah Agung Pengasuhan Anak. Buku ini adalah buku kesekian yang diterbitkan al-Azhar Press. Berhubung saya bukan orang yang rapih dan tertib administrasi, saya lupa ini buku yang keberapa. Saya tak sempat menomori termasuk mengumpulkan semua buku-buku itu (waduh!). Mudah-mudahan kawan-kawan saya ada yang mau berbaik hati menghitungnya.
Ada alasan mengapa saya menulis, atau lebih tepatnya mensintesa beberapa pemikiran ulama menjadi buku yang ringkas ini. Keprihatinan bahwa persoalan keluarga muslim di tanah air yang terus carut marut, termasuk dalam soal pengasuhan anak.
Coba, renungkan, apa yang biasanya terjadi saat terjadi perceraian dan anak-anak masih kecil? Perebutan hak asuh anak! Persoalan hak asuh anak kerap menjadi salah satu momok perceraian pasangan suami-istri. Mereka merasa berhak menjadi pengasuh bagi anak-anak mereka. Begitu sengitnya, tak jarang pertarungan ini berlanjut ke meja hijau.
Tapi nanti dulu, tak sedikit juga kasus orang tua yang menelantarkan hak asuh anak. Ada ibu yang begitu sibuk bekerja, berkarir, mengejar studi, sampai tak lagi peduli dengan hak pengasuhan anak. Yang penting sandang, pangan (juga papan) untuk anak terpenuhi.
And so on, para ayah. Tak sedikit ayah yang tak ambil pusing dengan soal pengasuhan anak. Maklum sudah sejak lama tertanam dalam otak sebagian lelaki, kalau pengasuhan anak itu domain kaum perempuan.
Perebutan hak asuh anak menjadi persoalan sebagian besar pasangan suami istri, baik yang muslim ataupun yang bukan. Penelantaran hak asuh anak juga menjadi problem sebagian besar keluarga di dunia. Semua terjadi karena dua hal; Pertama, karena memang tak ada lagi aturan yang menetapkan mekanisme pengasuhan anak yang diberlakukan secara riil di tengah masyarakat. Kedua, makin banyak pasangan yang tak paham hukum-hukum Islam tentang hal ini.
Untuk soal yang pertama, sekulerisme memang berhasil menyingkirkan syariat Islam dari tengah masyarakat, termasuk menggusur dari keluarga muslim. Akibatnya banyak orang tak memahami mekanisme dan struktur pengasuhan anak menurut Islam. Yang berlaku adalah hukum-hukum liberalisme base on sekulerisme. Agama bukan acuan dalam hubungan antar anggota keluarga, termasuk dalam pengasuhan anak. Penjajahan yang diberlakukan Barat di dunia Islam dilanjutkan dengan perang pemikiran dan perang peradaban. Sementara ini, peradaban Barat unggul. Hasilnya adalah dehumanisasi, di antaranya tercabutnya nilai-nilai kemanusiaan dalam keluarga.
Kedua, kondisi ini membuat banyak pasangan membangun rumah tangga tidak di atas landasan akidah Islam dan bangunan syariat Islam. Hasilnya, adalah seperti yang Allah Ta’ala sebutkan bahwa apapun yang sandarannya bukan kepada Allah adalah selemah rumah laba-laba. Rapuh.
Padahal Islam adalah agama yang paripurna, termasuk mengatur hukum dan hak pengasuhan anak. Islam punya rincian dan aturan pengasuhan anak yang disebut hadhanah. Syariat Islam menetapkan siapa saja yang wajib menjaga hak pengasuhan anak. Kaum ibu dan para wanita adalah kelompok yang pertama dan paling utama memegang hak pengasuhan anak. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”.
Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.”
Setelah saya mengkaji kitab Nizham al-Ijtima’iy fi al-Islam, karya Alamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, saya baru paham. Betapa teledornya saya yang tak membekali diri dengan pemahaman pengasuhan anak saat pernikahan. Tidak mengkaji lebih dalam melainkan setelah anak-anak tumbuh besar.
Itulah yang menurut pandangan simpel saya, kerap menimbulkan persoalan dalam keluarga saat bicara pengasuhan anak. Ketidakpahaman kita tentang hadhanah, pengasuhan anak. Karena itu ada tekad meski dengan keterbatasan ilmu, untuk menuliskan tema ini agar dapat dipahami sesama muslim.
Di dalam buku ini bukan saja saya tuliskan pendapat para ulama seputar hadhanah, tapi juga pembahasan tentang hukum penyusuan dan kehamilan. Terakhir, saya tuliskan bagaimana peran dan tanggung jawab negara dalam menjaga dan memelihara anak. Bagaimanapun juga, keluarga saja takkan sanggup memelihara anak tanpa peran dan tanggung jawab negara. Negara berperan dalam membantu keluarga, menolong keluarga yang tak mampu, dan menciptakan lingkungan yang positif bagi perkembangan anak.
Jadi, buku ini bukan buku ‘how to’ yang mengajarkan pemeliharaan anak, sebagaimana dua buku parenting saya sebelumnya; DNA Generasi Pejuang & Alhamdulillah Menjadi Ayah. Tapi buku ini lebih berisi kajian fikih singkat tentang bahasan kehamilan, hadhanah/pengasuhan anak, serta penyusuan.
Mudah-mudahan buku yang saya tulis dengan penuh keterbatasan ini bisa memberikan manfaat bagi panduan pengasuhan anak, dan menjadi amal jariyah yang mengalirkan kebaikan bagi saya hingga ke alam barzakh kelak.
Leave a Reply