Perempuan, Price, Value dan Islam

Segala sesuatu ada harganya!

Itu adalah kredo prinsip hidup kaum kapitalis. Ideologi tertua dari Eropa ini menekankan arti penting dua hal; kesenangan dan harga (price and pleasure). Hidup itu harus mencari kebahagiaan dan kebahagiaan itu haruslah berupa kesenangan. Bukan namanya kebahagiaan tapi tidak menyenangkan. Kalau anda punya mobil yang normal dan berjalan layaknya mobil, tapi Anda tidak senang maka itu bukan kebahagiaan. Karena misalnya mobil anda sudah ketinggalan jaman, atau bukan mobil berkelas di kalangan teman-teman Anda.

Untuk itu anda butuh mobil yang baru dan bagus. Mobil yang baru dan berkelas jelas punya ‘harga/price’.  Semakin tinggi kelas mobil yang anda inginkan, semakin tinggi price-nya. Anda yang sudah tak nyaman dengan Avanza atau Xenia, silakan ganti ke Rubicon yang harganya sekian kali lipatnya.

Okelah, itu wajar bila kita sedang membicarakan sesuatu yang dihasilkan dari teknologi yang canggih dan utiliti-nya tinggi seperti mobil, ponsel, pesawat terbang, dll. Prinsipnya, semakin tinggi utiliti atau kegunaannya, maka semakin tinggi juga harganya. Walaupun kaum kapitalis dengan mental ‘cari untungnya’ tak jarang praktekkan overpricing. Pasang harga yang keterlaluan. Barang yang awalnya berharga jutaan rupiah begitu diobral bisa jatuh sekian puluh persen.

Tapi dalam kapitalisme bukan hanya barang macam mobil yang punya price, apa saja yang bisa memberikan pleasure ‘n’ fun, patut dibandrol dengan harga tinggi. Termasuk, maaf, kepuasan seksual. Kapitalisme yang tak kenal halal-haram menjadikan seks sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan, bisa dieksploitasi. Kebutuhan seks di mata mereka bisa mengikuti hukum supply and demand. Bahkan penawaran akan menciptakan permintaan.

Prostitusi, film porno, sampai boneka seks adalah industri belaka bagi mereka. Nilai moral pinggirkan saja dulu. Nilai-nilai moralitas hanya cocok untuk para pengkhotbah, bukan untuk produsen dan konsumen. Khalayak, menurut kaum kapitalis, adalah pasar yang bisa menyerap apa saja, tak peduli walau yang butuh hanya segelintir orang.

Prostutisi adalah bisnis dan bisnis yang bagus. Ketika masyarakat disodori dengan eksploitasi penampilan perempuan yang seronok, dibanjiri pornografi, maka bisnis prostitusi menjadi prospektif. Di sinilah ada berlaku pleasure & price. PSK yang bisa memberikan pleasure yang tinggi, maka tinggi pula price-nya.

Sama seperti industri pornografi. Aktris perempuan yang paling memikat, paling disukai penonton, kian mahal pula tarif syutingnya. Posisi mereka sama seperti para aktor/aktris pemenang Golden Globe atau Oscar sekalipun. Terhormat dan hidup mewah, punya banyak penggemar layaknya aktris top.

PSK yang dianggap berkelas maka dibandrol dengan price yang juga tinggi, mengikuti hukum supply and demand ala kapitalis. Hukum pasar inilah yang menggoda banyak wanita muda untuk terjun ke dunia prostitusi dan industri pornografi. Bayaran tinggi, pekerjaan singkat.

Hukum pasar ini juga yang menggoda kaum pria hidung belang. Mereka penasaran dengan artis A, B, C dan mereka mau saja merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah. Ada seorang seorang kawan bercerita kalau ada seorang petinggi di satu perusahaan transnasional sampai habiskan uang ratusan juta rupiah perbulan untuk berkencan dengan sejumlah wanita panggilan papan atas. Istrinya hanya bisa meratapi nasib pernikahan mereka setelah ia mengendus kelakuan sang suami.

Segala sesuatu ada harganya. Mungkin bisa demikian. Tapi apakah kemudian yang price-nya tinggi berarti value-nya tinggi? Kapitalisme sudah mengacaukannya. Mereka selalu mengaitkan price dengan value. Ukurannya selalu uang, selalu materi. Realitanya banyak hal dalam kehidupan kita yang value-nya tinggi tapi tak bisa dihitung price-nya, karena begitu berharga.

Ketulusan seorang istri dalam menjaga keluarga tak bisa dibandrol dengan price. Mungkin ia hanya mendapat uang belanja seperlima, sepersepuluh atau malah seperlima puluh penghasilan para PSK, tapi ia ridlo menjaga kepercayaan suaminya dan merawat serta mendidik anak-anak mereka. Apakah itu berarti dirinya tak berharga hanya karena ‘price’ atau uang belanja yang sedikit?

Apakah ketulusan seorang ibu merawat anak-anaknya tanpa sedikitpun mengharap price dari mereka menjadikan ia tak berharga? Rusak betul bila hidup seperti itu.

Kapitalisme sudah mengacaukan hidup manusia dengan konsep price-nya. Sesuatu yang tinggi harganya mungkin punya nilai. Tapi banyak hal bernilai dalam hidup ini yang tak bisa ditakar harganya. Uang bisa membeli kesenangan; rumah megah, mobil mewah, termasuk kesenangan seksual. Tapi uang tak bisa membeli suasana rumah yang tumaninah, tetangga yang baik, dan istri yang solehah.

Kapitalisme merusak manusia dengan pikiran pleasure is happyness. Padahal pleasure atau kesenangan itu sesaat, tapi kebahagiaan itu lebih lama. Koruptor, penjudi, pezina mengejar kesenangan, tapi takkan pernah mendapatkan kebahagiaan. Sementara orang-orang yang amanah, menjaga kehormatan, khusyu beribadah, merawat rumah tangga dan keluarga, akan dilimpahi kebahagiaan.

Karenanya dunia butuh resolusi karena kapitalisme sudah merusak nilai dan pandangan hidup umat manusia. Kapitalisme benar-benar merusak, terutama merendahkan value kaum perempuan. Dan tak ada ideologi, ajaran, agama yang begitu memberikan value yang tinggi pada umat manusia, khususnya pada perempuan, selain Islam. Kaum wanita dihargai bukan dengan price atau nominal, tapi dengan kedekatan mereka pada jannah dan ridlo Allah SWT. Begitu tingginya value perempuan, sampai-sampai kedudukan jannah pun ada di telapak kaki para ibu.

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Wahai Rasûlullâh! Aku ingin ikut dalam peperangan (berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla ) dan aku datang untuk meminta pendapatmu.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mempunyai ibu?” Dia menjawab, “Ya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tetaplah bersamanya! Karena sesungguhnya surga ada di bawah kedua kakinya.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.