Beberapa hari ini dua organisasi Islam besar di Nusantara; Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sama-sama mengadakan muktamar. Membentuk kepengurusan baru dan menentukan arah langkah organisasi dan strategi berpartispasi dalam membangun negeri.
Menilik peran kedua ormas Islam tadi, tidak mungkin rasanya menampik kenyataan sejarah bahwa negeri ini diperjuangkan, dimerdekakan dan dijaga oleh barisan ulama. Dalam buku Api Sejarah karya Profesor Ahmad Mansur Suryanegara jelas disebutkan betapa ulama memegang kunci berdirinya negeri ini. Maka berlangsungnya perhelatan akbar kedua ormas Islam tersebut sungguh menjadi salah satu penentu detak jantung negeri ini.
Sungguh tidak mungkin melepaskan pengaruh agama (Islam) untuk menjaga moralitas dan keadilan negeri ini. Tanpa agama dan para punggawanya – yakni alim ulama dan cendekiawan muslim –, moral bangsa ini bisa lebih terpuruk. Siapa saja yang mengatakan agama harus dipisahkan dari negara dan pemerintahan sama saja mengamini kebangkrutan moral bangsa.
Orang yang mengatakan siapa saja bisa bermoral tanpa perlu agama sebenarnya ia tengah mengalami halusinasi. Benar, agama tanpa moral adalah cacat, tapi moral tanpa iman adalah hipokrit. Berapa banyak politisi, anggota dewan, pejabat, kepala daerah yang berbaik-baik pada publik karena mengharapkan dukungan, bukan murni ketulusan. Enerji yang bisa membuat orang tulus bermoral adalah iman.
Para ulama dan cendekiawan yang hari ini bermuktamar di dua tempat, dan dua badan yang berbeda, harus menyadari bahwa mereka dihadapkan pada tantangan besar; surutnya kepercayaan publik pada tokoh agama dan ajaran agama.
Ada dua sebab hal itu terjadi; pertama, publik melihat sebagian tokoh agama — ustadz, ulama, kyai – berdiri bukan sudah tidak lagi netral dan independen, serta membela kepentingan agama dan umat, tapi berpihak pada kelompok dan kepentingan politik. Bahkan majlis talim atau mimbar tabligh yang semestinya jadi ajang tausiyah bisa berubah menjadi panggung kampanye.
Benar, siapa saja bisa boleh menyuarakan aspirasi politiknya. Namun yang disayangkan kemudian adalah ketika para pemuka agama itu kehilangan nalar kritisnya terhadap parpol, pejabat atau anggota dewan yang ia dukung. Seolah pemuka agama telah disetir oleh parpol dan segala kepentingan politiknya.
Kedua, surutnya kepercayaan umat pada pemuka agama karena moral hazard disayangkan merembes kepada lingkungan ustadz, kyai dan ulama. Kasus korupsi yang dilakukan dan melibatkan politisi parpol Islam dengan latar belakang pendidikan pesantren bahkan kampus Islam mancanegara seperti arang yang mencoreng di dahi para cendekiawan muslim ini. Sampai-sampai muncul ejekan yang menyakitkan hati; kalau ustadz dan politisi muslim itu berkuasa biasanya doyan poligami dan korupsi.
Faktor kedua merupakan faktor terbesar yang membuat kepercayaan umat pada peran tokoh Islam surut. Bagaimanapun juga, keislaman seseorang tidaklah ditentukan oleh gelarnya, asal pendidikannya, atau hafalan ayat al-Qurannya, tapi seberapa tinggi integritasnya pada agama dan pembelaannya pada umat.
Kita bisa katakan tokoh agama yang sudah mengidap moral hazard mungkin berilmu tinggi tapi mereka bukan negarawan. Mereka menjadikan keilmuan dan gelarnya untuk kepentingan pribadi belaka atau kelompoknya saja, bukan untuk kepentingan negeri dan umat.
Kita percaya masih ada ulama yang berjiwa negarawan. Ulama yang siap bekerja keras siang malam membela umat dan agama. Ia bisa berada di ormas atau parpol mana saja, karena bagi kita itu tidak penting. Umat menilai seorang tokoh dari integritasnya, bukan asal kelompoknya. Meski berasal dari ormas besar tapi bila tokoh tadi tidak memiliki integritas, justru akan merusak dirinya sendiri.
Ulama juga harus berada di garis terdepan perjuangan tanpa takut dicap fanatik apalagi radikal. Hadratusy Syaikh Hasyim Ashari telah mengingatkan kita semua bahwa tudingan fanatik agama adalah strategi Barat untuk menjauhkan umat dari agama. Kata beliau, “…timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) di dalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat,merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islam dengan cara hujjah, lalu menuduh umat Islam adalah fanatik.“ (Fanatisme dan Fanatisme dalam Mengapa Saya Memilih NU? KH. A. Wahid Hasyim. 1985. Inti Sarana Aksara. Jakarta).
Senada dengan beliau, KH. Buya Hamka juga memperingatkan umat Islam akan hal ini, “Orang Barat menimbulkan kata fanatik, karena setelah mereka menancapkan penjajahan di negeri-negeri Islam, orang Islam itu melawan. Bergelimpangan bangkai mereka terhantar ditengah medan pertempuran, namun mereka masih tetap melawan. Dan meskipun telah beratus-ratus yang syahid , namun yang tinggal masih meneruskan perlawanan.”
Lebih tegas lagi, KH. Hasyim Ashari mengkritik umat Islam yang malu disebut ‘fanatik’ lalu melepaskan ajaran Islam dan membebek pada ideologi Barat. “…golongan modern ini ma’mum pada orang-orang Barat. dengan pendirian yang teguh pula. Sebenarnya mereka ini juga fanatik, akan tetapi tidak pada Islam, hanya kepada orang-orang Barat. Akan tetapi mereka juga tidak suka dinamakan fanatik, dan menamakan dirinya,’ modern’, ‘progressif,” begitulah sindir KH Wahid Hasyim.
Maka, selamat bermuktamar bagi guru-guru umat yang ada di dua ormas tertua dan terbesar di negeri ini. Umat menanti kerja keras kalian. Menanti pembuktian dan pembelaan kalian atas agama dan umat. Sejumlah masalah menanti kalian; kasus Tolikara, isu terorisme yang terus menyudutkan umat, korupsi, LGBT, dsb.
Umat menanti ulama yang negarawan dan negarawan yang ulama. Ulama yang menyelamatkan negerinya dengan ke-ulama-an mereka, dengan keyakinan bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang benar yang lebih tinggi dibandingkan sistem buatan manusia. Ulama negarawan adalah ulama yang meletakkan kepentingan agama dan umat di atas kepentingan kelompok dan golongan, apalagi pribadi.
Sama halnya umat juga menanti kehadiran negarawan yang ulama. Pemimpin negara yang meletakkan akidah Islam sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat, serta menjadikan syariat Islam sebagai sendi-sendi kehidupan. Pemimpin yang rasa takutnya kepada Allah mengalahkan rasa takutnya kepada segenap mahluk termasuk Barat durjana dan ideologi mereka.
Kami di sini hanya bisa berdoa dan sedikit mengingatkan, bukan mengajarkan akan bahayanya seorang alim yang membiarkan dirinya berada dalam moral hazard: siksa bagi seorang alim yang fasiq lebih disegerakan ketimbang kepada orang jahil. Wal iyyadzu billah!
Leave a Reply