Sebagai pendidik dan ayah saya terkaget-kaget membaca ratusan pelajar putri tingkatan SMP minta dispensasi sekolah karena sudah hamil. Mungkin bukan saya saja yang kaget, tapi banyak guru, orang tua, dan siapa saja yang care dengan dunia pendidikan seperti jantung mau copot. Anak-anak yang masih usia SMP tahu-tahu hamil, jumlahnya ratusan, dan bukan di kota metropolitan, tapi Ponorogo.
Anak-anak itu juga pasti terkaget-kaget kalau mereka ternyata bisa hamil. Mungkin mereka sudah tahu kalau berhubungan seks dengan lawan jenis salah satu resikonya adalah hamil. Tapi bisa jadi mereka tak bakal menyangka kalau perbuatan mereka dengan pacar atau kawan atau siapalah cowoknya, ternyata membuat mereka hamil di usia masih amat muda.
Saya jadi teringat dengan beberapa tulisan dari pemerhati sosial, psikolog, praktisi kesehatan atau siapa saja yang mengkritisi gerakan nikah muda. Bagi mereka, pernikahan usia dini itu amat tidak layak. Beresiko bagi kesehatan fisik dan mental remaja. Namun saya belum membaca tulisan mereka yang mengkritisi soal gaya pacaran remaja sampai hamil di usia dini. Karena secara tersirat, bagi kelompok yang menentang pernikahan usia dini, pacaran bagi remaja adalah salah satu opsi atau jalan keluar. Entah mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu kalau sebagian remaja Indonesia sudah mengalami suatu revolusi gaya hidup; revolusi seksual.
Mengapa saya berani mengatakan demikian? Pertama, anak-anak muda Indonesia hari ini yang dikenal dengan gen milenium dan gen Z bisa dengan mudah mengakses berbagai konten pornografi. Gawai yang canggih dan koneksi internet memanjakan mereka berselancar di berbagai situs untuk mendapatkan berbagai hal yang bersifat pornografi.
Celakanya yang mereka dapatkan bukan sesuatu yang edukatif, tapi destruktif. Merusak nalar berpikir anak-anak muda dan remaja kita. Seks dan erotisme yang harusnya jadi bagian privat dan sakral dilakukan pasangan suami-istri sekarang jadi konsumsi anak-anak muda yang masih jauh berpikir dari menikah. Mereka masih betah di sekolah, nongki dengan kawan, main futsal, tapi syahwat mereka sudah melewati titik didih.
Kedua, sebagian anak muda kita sudah semakin permisif terhadap perilaku seks bebas. Saya ingin katakan pada banyak orang tua, guru, pendidik, pemerhati sosial, dokter dan tenaga medis, sebagian anak muda Indonesia sejak tahun 90-an kalau berpacaran sudah melakukan yang namanya KNPI; kissing, necking, petting dan intercourse.
Ini juga disupport oleh orang tua mereka dan lingkungan. Coba saja di medsos atau media massa online muncul berita artis anu liburan berdua bersama kekasihnya ke daerah anu selama beberapa hari. Apakah mereka tidur satu kamar di hotel? Tidak ada yang tahu, tapi siapa yang bisa mencegah kalau itu terjadi? Akun beberapa selebgram juga sering pamer foto bersama kekasih dalam pose intim. Bagaimana sikap orang tuanya? Belum pernah saya dengar ada orang tua selebgram yang murka pada kelakuan anak-anak mereka.
Ada juga selebgram yang cerita kesana kemari kalau dia jadi selingkuhan atau simpanan laki orang. Bahkan sampai vulgar dia ceritakan kalau dia sudah berzina dengan selingkuhannya seperti ini dan itu. Belum lagi podcast-podcast yang menjual erotisme demi cuan.
Ini menjadikan seks diluar nikah di otak sebagian remaja dan anak muda Indonesia adalah keren, gaul, sampai mereka kesandung kasus hamil di luar nikah, yang laki tak mau tanggung jawab, digugurkan kandungannya, atau lebih buruk lagi dibunuh pacarnya.
Ketiga, revolusi seksual anak muda Indonesia semakin menjadi karena sebagian dari mereka juga tahu bagaimana menghindari kehamilan. Bukankah kondom dijual bebas di minimarket dan bisa dijual pada siapa saja? Sebagian dari mereka juga tahu apa yang harus dilakukan kalau terlanjur hamil. Sejumlah obat-obat penggugur kandungan dijual online dan siapa saja bisa mengaksesnya.
PRAGMATIS NAN BERBAHAYA
Menghadapi kondisi ini banyak pihak memilih jalan pragmatis. Katanya masyarakat harus menghormati privilege masing-masing orang lakukan hubungan seks di luar nikah, termasuk di kalangan remaja. Yang mereka kampanyekan hanyalah no sex before married, tapi tetap tolerir pacaran. Sebagian orang menyerukan pentingnya pendidikan seks, sebagian lagi menyerukan be faithful/setia pada pasangan dan penggunaan kondom.
Namun mereka juga tak bisa melarang seseorang termasuk anak muda melakukan seks sebelum nikah. Bukankah ada kaidah my body is my authority? Yang penting hubungan seks dilakukan dengan prinsip consent, tak ada paksaan dan kekerasan.
Sikap pragmatis orang tua, pendidik, masyarakat apalagi negara justru akan menyeret bangsa ini khususnya anak-anak muda masuk jurang kehancuran sosial. Lihat saja di kasus ratusan siswi SMP hamil di Ponorogo. Mereka minta dispensasi sekolah.
Waspadai juga jatuhnya mental para remaja itu. Masih muda harus sudah menanggung kehamilan, atau nanti mengasuh anak, apalagi akibat hubungan di luar nikah. Menggugurkan kandungan pun bukan pilihan terbaik. Banyak perempuan alami trauma pasca lakukan aborsi kandungan. Belum lagi resiko gangguan kesehatan seperti perdarahan berat, infeksi, sepsis (kelanjutan dari infeksi), kerusakan rahim, peradangan panggul dan endometritis (radang pada lapisan rahim).
Waspadai juga nanti perkembangan mental anak-anak yang lahir dari ibu yang terpaksa mengandung, melahirkan dan membesarkan mereka. Dari mental ibu yang tidak siap menjadi pendidik dan pengasuh anak, bagaimana bisa mental anak-anak mereka tumbuh dengan baik? Yang ada bisa menjadi beban orang tua mereka; ya beban sosial ya beban ekonomi.
Siap-siap saja Indonesia hadapi gelombang penyakit menular seksual di kalangan remaja dan anak muda. Di AS, anak muda usia 15-24 tahunmenyumbang 50 % dari total pasien penderita penyakit menular seksual (PMS/Sexual Transmitted Deseases (STDs)) , meskipun mereka hanya mewakili 25% dari populasi yang mengalami seksual, atau sekitar 20 juta anak muda AS.
STOP PERZINAAN
Satu-satunya jalan selamat untuk anak muda Indonesia adalah dengan stop perzinaan. Bisakah? Bisa tapi hanya dengan syariat Islam yang dijalankan dengan kaffah. Tanpa itu, revolusi seks akan terus terjadi, bahkan bisa berjilid-jilid. Dalam Islam aturan seputar pergaulan pria-wanita, pernikahan dan larangan zina sampai sanksi pidana untuknya sudah sangat lengkap.
Islam hanya membuka pintu pernikahan untuk hubungan biologis, tak ada jalan lain. Di luar pernikahan berkhalwat apalagi melakukan ‘KNPI’ adalah terlarang. Ada sanksi pidana yang diberlakuan pada anak muda yang nekat melakukan zina; jilid 100 kali menanti.
Apakah dengan begitu anak muda harus menikah dini? Tidak demikian. Pernikahan itu butuh persiapan lahir batin. Untuk mereka yang sudah siap maka dianjurkan menikah, kalau belum siap maka persiapkan diri sambil mengembangkan berbagai potensi diri dan banyak beribadah, juga menjauhkan diri dari beragam hal yang menjadi stimulan naluri seksual mereka.
Maka pornografi adalah musuh bersama yang harus dilenyapkan. Ada sanksi yang juga disiapkan bagi pembuat konten, yang menyediakan, dan yang mengaksesnya. Semua dilakukan untuk mencegah anak-anak muda alami kerusakan mental akibat pornografi.
Namun berharap itu terjadi sekarang di Indonesia adalah mustahil. Bangsa ini – terutama para pengambil kebijakannya – lebih memilih budaya liberalisme dan hedonisme masuk ke dunia anak-anak muda lewat film, musik, bacaan, dll. Kasus ratusan siswi SMP yang hamil di Ponorogo hanya jadi keterkejutan sesaat, setelah itu akan dilupakan lagi, dan revolusi seksual anak muda terus berjalan.
Sementara itu Islam Kaffah yang sebenarnya jalan keluar bangsa malah terus menerus dimusuhi. Dicap radikalisme dan dijadikan musuh bersama. Bahkan beragam isu anak umat seperti liberalisasi SDA, Perppu Cipta Kerja, juga soal seks bebas anak muda malah dibelokkan sebagai ‘tunggangan’ kaum radikal. Dis.
Padahal, banyak anak muda di negeri ini diselamatkan oleh apa yang mereka sebut kaum radikalis. Berbagai pengajian, seminar, festival keislaman, digelar sebagai ajang untuk menyadarkan dan menyelamatkan anak-anak umat. Tak sedikit yang kemudian hijrah dan menjaga diri sampai pernikahan nanti. Itu saja, masih dicurigai dan dipersekusi. Sementara dangdutan dan saweran dibiarkan dengan alasan budaya Nusantara. Ealah.
2 Comments
masyaAllah ini yang ada dipikiran saya, gemas dengan peraturan Indonesia, takut Indonesia akan menjadi Amerika, karena mengkonsumsi film film barat dianggap bergengsi.
Tapi sebagai anak muda yang “dicekoki” agama oleh orang tua & keluarga besar, akhirnya mau nggak mau nurut karena rasa malu lebih besar dari keinginan hidup “semau gw”
Meskipun sampai hari ini merasa selama sekolah dikekang dengan aturan islam, tapi memang itu yang bisa menyelamatkan saya dari pacaran/pergaulan bebas Jakarta.
Btw, teman teman dekat saya melakukan KNPI sejak SMP. Saat kami sudah berusia 25 tahun, teman dekat saya tersebut berlanjut melakukan dosa: dengan pedenya bercerita telah melakukan sex dengan pria sudah beristri :'(
Kami kelahiran 1992
Innalillahi wa inna ilayhi rajiun. Semoga beliau segera bertaubat meninggalkan perbuatan maksiat tersebut