Dari tahun ke tahun keluarga justru menjadi kluster tertinggi kekerasan terhadap anak. Ratusan kekerasan pada anak mirisnya melibatkan ibu sebagai pelaku. Tanda banyak ibu rumah tangga terbelit masalah?
Pepatah lama ibu tiri lebih kejam dari ibu kandung, seperti terbukti. Itu yang dialami Nizam, bocah usia 6 tahun yang tewas di tangan ibu tiri atau ibu sambungnya. Sebelum kematiannya, Nizam mendapatkan penganiayaan. Dibiarkan kelaparan setelah pulang kehujanan dari sekolah, kemudian dalam keadaan lemas didorong hingga terbentur yang mengantarkan pada akhir hidupnya.
Menurut kepolisian, motif ibu sambung korban adalah rasa kesal dan cemburu pada Nizam. Kesal karena sejak awal pelaku memang tidak mau mengurus anak sambung dari suaminya. Ditambah lagi ia merasa cemburu karena merasa suaminya lebih sayang pada Nizam ketimbang pada anak hasil pernikahannya.
Kejadian di Pontianak, Kalimantan Timur, beberapa hari lalu itu hanya menambah panjang deretan kekerasan dalam keluarga terhadap anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti berbagai kasus kekerasan terhadap anak. KPAI mencatat sebanyak 262 kasus kekerasan terjadi selama 2023 mencakup kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Demikian data yang dilansir Komisioner KPAI Subklaster Anak Korban Pornografi dan Cybercrime, Kawiyan, di Polda Metro Jaya, Rabu (5/6/2024). Mirisnya, dari total kasus yang ada, sebanyak 153 kasus kekerasan melibatkan ibu kandung.
Data yang sama juga didapat dari tahun 2018 silam. Ketika itu Asisten Deputi Bidang Partisipasi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha Kementerian PPPA Sri Prihantini L Wijayanti menyebutkan kalau ternyata orang tua justru menjadi pelaku sebagian besar kekerasan pada anak. Tindak kekerasan ini biasanya dilakukan dengan alasan untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. Angkanya mencapai 70 persen.
Dari tahun ke tahun keluarga justru menjadi kluster tertinggi kekerasan terhadap anak. Pada tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menerima sebanyak 2.971 kasus selama tahun 2021, dengan kluster tertinggi kluster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 2.281 kasus (76,8%).
Meningkatnya kluster kekerasan dalam keluarga dengan orang tua sebagai pelaku wajib menjadi perhatian kita semua. Karena, bagi anak, rumah dan kebersamaan dengan orang tua harusnya menjadi tempat dan momen yang aman untuk mereka. Anak-anak di usia pra-baligh ada dalam kondisi yang lemah secara fisik, mental dan ekonomi maka orang tua harus ada sebagai pelindung. Bila lingkungan keluarga sudah tidak aman, lalu kemana lagi mereka akan mencari?
Negara tentu saja harusnya menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk masyarakat dan keluarga. Negara misalnya, harus turut menjamin kondisi ekonomi keluarga tidak mampu agar tidak semakin jatuh dalam krisis. Negara juga harus memberikan edukasi pada warga agar paham tujuan dan punya kemampuan berumah tangga. Hukum juga harus ditegakkan oleh negara agar tidak terjadi penyimpangan dalam kehidupan rumah tangga. Inilah makna pemimpin negara itu adalah penggembala rakyat. Sabda Nabi:
فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
Seorang pemimpin yang mengurus banyak orang adalah penggembala dan akan ditanya tentang mereka. (HR. Muttafaq alayh)
Akan tetapi penting juga mencermati sebab kondisi para ibu sehingga sifat ummumah (motherhood) dan kasih sayang (wadud) terlempar dari diri mereka. Berubah menjadi ’monster’ yang mengerikan untuk anak, bahkan bisa tega membunuh anak yang diasuhnya.
Salah satunya adalah ibu alami gangguan kesehatan mental. Sebuah survei yang dilakukan di tahun 2020, saat pandemi, menemui hasil 56 persen ibu rumah tangga mengaku stres. Tidak hanya itu, para ibu rumah tangga juga mengalami gangguan kecemasan dan sulit tidur. Bahkan, menurut survei yang dilakukan oleh aplikasi Teman Bumil tersebut menjelaskan para ibu juga mudah marah. Stress berdampak pada sistem biologis, emosi dan perilaku kaum ibu.
Ada sejumlah sebab yang patut diwaspadai menjadi pemicu stress pada seorang ibu rumah tangga. Di antaranya:
1. Merasa sendiri. Dalam pernikahan tidak jarang ditemui istri yang bekerja keras sendiri mengatur rumah tangga dan mengasuh anak. Peran suami minim membersamai dan membantu istri. Kondisi ini bisa terjadi karena pernikahan LDR, atau bisa terjadi karena minimnya empati pada istri sehingga suami tidak bekerja sama dalam mengasuh anak. Sebagian lelaki juga masih berpikir bahwa mengasuh anak adalah domain perempuan sehingga menyerahkan sepenuhnya pada istri. Akhirnya istri merasa sendiri dalam mendidik dan mengasuh anak sehingga mengalami depresi.
2. Burn out. Pekerjaan seorang istri di rumah tangga selain mengasuh dan mendidik anak menguras tenaga dan pikiran. Dalam titik tertentu seorang ibu rumah tangga bisa mengalami burn out. Kelelahan lahir batin yang berat. Pada titik ini depresi bisa menyerang dan emosi bisa tidak terkendali
3. Kurangnya Me-Time. Tidak sedikit ibu rumah tangga yang kurang mendapatkan kesempatan untuk beristirahat. Apalagi bila memiliki banyak anak. Kurangnya istirahat bisa membuat seorang ibu rumah tangga mengalami tekanan mental.
4. Tekanan Ekonomi. Kondisi ekonomi nasional yang terus memburuk tidak bisa diabaikan menambah faktor gangguan kesehatan mental banyak keluarga di tanah air, terutama kaum ibu. Sebab, secara umum kaum ibu/para istri yang paling bertanggung jawab mengelola keuangan keluarga. Semakin beratnya beban ekonomi menambah beban pemikiran mereka. Beberapa kali terjadi kasus bunuh diri keluarga dengan ibu sebagai inisiator dilatarbelakangi tekanan ekonomi.
5. Tidak Bahagia Dalam Pernikahan. Dalam kasus yang terjadi di Pontianak, pelaku merasa tidak bahagia dalam pernikahan karena tidak mau mengurus anak sambungnya. Ini jadi pemicu kekerasan terhadap korban. Kondisi tidak bahagia dalam pernikahan bisa memicu konflik dengan pasangan, atau bisa dilampiaskan pada anak.
6. Jauh Dari Agama. Berbagai tekanan hidup masih bisa ditahan bila seorang istri masih punya kekuatan ruhiyah/spritiual. Dengan keyakinan bahwa Allah akan memberi pertolongan, siapapun yang mendapatkan beban hidup akan bisa melewatinya. Sebab, faktor harapan adalah penguat seseorang dalam menjalani kehidupan. Harapan terbesar adalah yakin mendapatkan pertolongan Allah Swt. Namun bila menjauh dari agama, maka nyaris tak ada lagi harapan dalam pikiran mereka.
Secara makro, negara harus bertanggung jawab terhadap kondisi ini. Namun dalam negara dan masyarakat yang menganut falsafah sekulerisme-kapitalisme, berlaku prinsip survival of the fittest. Rakyat dibiarkan bertarung sendiri menyelesaikan sebagian besar persoalan mereka. Negara justru menambah beban rakyat dengan berbagai pungutan seperti aneka pajak, BPJS, biaya pendidikan, dsb. Inilah realita negara dengan ideologi sekulerisme-kapitalisme.
Di sisi lain, suami berperan besar untuk menyelamatkan istri dari depresi. Jangan sampai istri sendirian menghadapi persoalan rumah tangga, termasuk mendidik dan mengasuh anak. Suami harus memiliki empati yang tinggi, siap meringankan beban istri, bersama mendidik dan membersamai anak, dan menciptakan suasana bahagia bersama.
Sayangnya tidak jarang suami justru mengabaikan kondisi istri. Tidak sedikit pula lelaki yang merasa sudah cukup membantu dan merasa istrinya bahagia dalam pernikahan. Padahal ia tidak tahu kondisi sebenarnya, dan tidak pernah membantu istri dalam menciptakan kebersamaan. Tidak jarang pula suami melakukan pendekatan komunikasi koersif (memaksa) terhadap istri. Sehingga tidak jarang istri pura-pura bahagia di depan suami karena takut. Kondisi ini bisa menjadi bom waktu ledakan emosi pada istri.
Leave a Reply