Mengapa Pasangan Dakwah Bisa Bertengkar?

Mencari pasangan yang seirama dalam dakwah menjadi berharga untuk mengarungi lautan pernikahan. Seirama dalam dakwah memudahkan membangun visi dan misi yang sama. Namun, realitanya konflik dan pertengkaran ternyata tetap tak bisa dihindari. Terkadang, meski seirama dalam dakwah namun konflik bisa terjadi begitu keras. Mengapa?

Sejatinya ujian seorang mukmin salah satunya berasal dari keluarga. Allah Swt mengingatkan bahwa pasangan berpotensi menjadi musuh. FirmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS Ath-Thagabun [64]:14)

Nabi Saw juga bersabda bahwa salah satu fitnah yang bisa mendatangkan keburukan serta hal-hal yang tidak halal baik ucapan maupun perbuatan adalah datang dari keluarga. Sabdanya:

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أهْلِهِ وَمَالِهِ وَ وَلَدِهِ وَنَفْسِهِ وِجَارِهِ

Fitnah seseorang dari keluarganya, hartanya, anaknya, dirinya dan tetangganya ditebus dengan puasa, shalat, sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar. (Muttafaqun’alaih)

Sehingga hal yang manusiawi pasangan yang sama-sama sudah berada di jalan dakwah, bersama mengkaji agama, menghadapi kondisi yang sedang tidak harmonis seperti pertengkaran dan konflik.

Namun, tentu hal ini bisa menjadi aib bukan semata untuk pasangan tersebut, tapi juga bisa melebar pada misi dakwah yang diemban. Patut disadari bila seorang juru dakwah dan keluarganya akan disorot oleh masyarakat, akan dijadikan panutan. Tak terkecuali akan dicari cacat celanya untuk menjatuhkan dakwah.

Ada beberapa penyebab konflik di antara pasangan terjadi. Semoga bahasan ini bisa menjadi kebaikan untuk para pengemban dakwah yang tengah menjalani kehidupan bersama dalam ikatan nikah.

Pertama, ada hak dan kewajiban yang tidak ditunaikan. Ketika syariat Islam menetapkan hak dan kewajiban selain sebagai bentuk ketaatan pada Allah Swt  juga akan memberikan tuma’ninah/ketenangan terhadap kehidupan rumah tangga. Misalnya Nabi Saw mengingatkan para suami dengan sabdanya:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku. (HR. Tirmidzi)

Jika para suami pengemban dakwah berlaku baik pada istrinya; memberikan nafkah dengan maruf, bertutur kata santun, menghormati dan menyanjung istri, siap membantu, memenuhi kebutuhan biologisnya, maka istri akan merasakan ketenangan. Selanjutnya istri pun akan dengan senang hati melayani suami.

Demikian pula sebaliknya, ketika istri taat pada suami, meminta izin saat akan keluar rumah, memenuhi ajakan suami dalam kebutuhan biologis, merawat rumah juga anak, akan mengantarkan ketenangan dalam hati suami. Ujungnya suami juga akan merasa tenang dan tumbuh mahabbah yang semakin besar pada istri.

Namun ketika hak dan kewajiban ini timpang, tak terpenuhi, apalagi sengaja diabaikan, maka hubungan akan merenggang dan ketenangan menjauh. Konflik mudah pecah di antara mereka.

Kedua, ada perbuatan maksiat yang dilakukan oleh salah satu atau keduanya. Perbuatan maksiat berdampak pada hati seseorang dan lingkungannya. Dosa akibat kemaksiatan akan menutupi hati lalu menyebabkan sulit menerima kebenaran dan petunjuk. Sehingga mudah terpancing pertengkaran karena tidak bisa menerima nasihat.

Bila dalam kehidupan rumah tangga terasa sering terjadi konflik dan pertengkaran, alangkah baiknya suami dan istri muhasabah atas segala perbuatan. Seorang salafus saleh berkata, “Demi, Allah. Sungguh saya bisa mengetahui perbuatan maksiat saya dari perangai isteri saya dan mogoknya tunggangan saya.”

Ketiga, egois dan hilang rasa takut pada Allah. Mungkin bab demi bab tentang sistem pergaulan Islam telah dikaji, buku-buku pernikahan juga sering dibaca, namun semua tidak ada artinya bila sebatas pengetahuan/maklumat. Enerji kebaikan dari ajaran Islam yang sebenarnya sanggup merekatkan hati tak akan bekerja, karena para pemilik ilmu ini hanya menjadikannya hangat di forum kajian tapi menguap di dalam rumah.

Ketika berhadapan dengan pasangan materi-materi kajian itu musnah oleh ego masing-masing dan tak mau menciptakan win-win solution atau kebersamaan. Sebenarnya semua bermula dari tipisnya ketaatan pada Allah dikarenakan lemahnya rasa takut pada Allah.

Itulah pentingnya melandasi kajian Islam dan relasi suami-istri dengan keimanan. Sehingga setiap ilmu yang diperoleh menambah ketaatan dan kelezatan iman. Itulah amal menuntut ilmu yang barakah. Namun, bila kajian demi kajian hanya dijalani sebagai rutinitas, dan kebersamaan suami-istri sebatas hubungan cinta, maka tak butuh lama disusupi ego dan kebencian satu sama lain.

Apalagi ketika hilang rasa takut pada Allah, tak ada lagi malu untuk bersikap kasar pada pasangan; mencaci, melakukan kekerasan fisik, atau menyakiti pasangan dengan cara-cara yang jelas diharamkan agama. Ada istri yang tega meninggalkan suami, atau ada suami yang tega membohongi dan mengabaikan istri demi bisa berpoligami.

Keempat, kurangnya rasa syukur menghadapi nikmat dari Allah, dan kurang bersabar menghadapi ujianNya. Padahal syukur dan sabar adalah dua amal besar yang menghantarkan kebersamaan. Orang yang tidak mensyukuri kebaikan dari pasangan hakikatnya tidak bersyukur pada Allah. Sabda Nabi Saw:

مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ

Siapa yang tidak pandai bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah. (HR. Tirmidzi)

Sebelum pernikahan menjadi semakin buruk, lakukanlah muhasabah bersama-sama. Ukur ketaatan diri pada Allah Swt. Buang jauh ego dan rasa ingin menang sendiri. Bangun kebersamaan dan memberikan yang terbaik pada pasangan. Hilangkan keinginan saling menyakiti, ganti dengan rasa ingin saling memberi. Ubah benci dengan sikap saling memaklumi. Dengan begitu rumah tangga para pejuang dakwah akan semakin harmonis, menjadi madrasah untuk anak-anak, dan menjadi teladan bagi umat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.