Karena Kita Berpikir Menjadi Orang Tua Tak Perlu Belajar

asian-cute-kid-laugh-little-Favim.com-333103_largeSesak dada saya membaca berita seorang bocah perempuan tewas di tangan ayah kandungnya sendiri. Kesal dengan pertengkaran ala bocah, sang ayah memukuli buah hatinya sendiri. Yang membuat dada saya semakin sesak adalah bocah perempuan malang itu sebelum meninggal memeluk sang ayah, meminta maaf dan bilang, “aku sayang ayah!”

Oh Noooo!

Astaghfirullah!

Berita sampai sekarang masih berputar-putar di kepala saya. Membuat saya teringat dengan diri saya sendiri, seorang ayah yang juga masih suka marah-marah pada anak-anak saya. Ada saja yang membuat saya suka naik pitam. Soal kebiasaan buruk lupa menyimpan handuk di jemuran, kamar yang berantakan, atau ribut-ribut ala bocah antar kakak dan adik. Berita itu menjadi sentilan keras di telinga saya; “Iwan, kamu jangan jadi ayah pemarah!” Saya malu dan takut.

Belakangan kasus anak yang dianiaya orang tua semakin banyak. Beberapa di antara mereka ada yang meninggal mengenaskan. Pelakunya bukan hanya sang ayah – yang biasanya lebih mudah marah dan main ‘fisik’ – tapi juga dilakukan ibu. Itu belum termasuk ‘calon’ ibu yang mengaborsi janinnya atau membunuhnya ketika lahir.

Merunut ke belakang, kasus anak tewas di tangan orang tua, pertama kali ramai dan menjadi headline media massa nasional adalah yang menimpa seorang anak bernama Arie Hanggara. Bocah usia 8 tahun itu menghembuskan nafas terakhir setelah disiksa bersama-sama oleh ayah kandung dan ibu tirinya. Kejadian itu terjadi pada bulan November 1984. Saya yang masih duduk di bangku SD membaca kisah itu di majalah Tempo. Kisah Arie Hanggara lalu diangkat ke layar lebar oleh sutradara Frank Rorimpandey.

Harusnya kejadian Arie Hanggara bisa menjadi pelajaran bagi semua orang tua, bahwa kesabaran adalah salah satu tools yang wajib dimiliki seseorang ketika memutuskan ingin menjadi orang tua. Sayang, seperti yang saya tulis di atas, seiring perjalanan waktu justru semakin banyak bocah-bocah malang menjadi korban kekerasan oleh orang tuanya sendiri.

arie hanggara

Rekan-rekan pembaca, khususnya yang sudah menjadi ayahbunda. Peristiwa itu semestinya jadi pukulan bagi kita, para orang tua. Janganlah asal-asalan menjadi orang tua. Ketika kita memilih untuk menjadi orang tua maka seharusnya sudah berpikir serius dan mendalam bahwa ini adalah ‘karir’ yang tidak main-main. Orang tua akan menentukan karakter dan masa depan anak. Like father, like son. Like mother, like daughter. Apa yang kita tanam pada mereka, akan kita petik hasilnya nanti di masa depan…juga di akhirat!

Sayang, banyak orang ketika memutuskan untuk menikah lalu ingin punya anak, tidak berpikir serius untuk menjadi orang tua yang baik. Umumnya kita berpikir menjadi orang tua adalah sesuatu yang OTOMATIS! Perempuan berpikir ia adalah ibu karena ia sudahn mengandung dan melahirkan juga menyusui anaknya. Lelaki berpikir bahwa ia adalah ayah karena ia yang menanamkan sel sperma ke rahim istrinya. So, jadi orang tua itu sesuatu yang natural. Alamiah. Begitulah pikir kita saat ini.

Padahal, tak ada satu pun di dunia ini yang tak membutuhkan pembelajaran dan ilmu, selain ketrampilan yang sudah otomatis dipunyai organ tubuh dan anggota badan kita. Untuk bisa melihat, mendengar dan berbicara, menggenggam, kita tak perlu belajar. Itu sudah otomatis.

Tapi untuk bisa melihat kemauan dan perilaku anak-anak kita, mendengarkan celoteh mereka, memeluk mereka dengan tangan kita, itu sungguh membutuhkan ilmu. Apalagi bila kita berharap mereka tumbuh sebagai anak yang baik, soleh dan solehah, maka semakin banyak ilmu yang harus kita miliki.

alhamdulillah-jadi-ayah-199x300

Namun, berapa banyak orang tua yang sudah berpikir serius untuk belajar menjadi orang tua?

Maaf, kalau sekedar hamil atau menghamili, kambing juga bisa. Anak-anak alay yang suka pacaran juga bisa. Tapi memilih jalan hidup sebagai ayah dan bunda yang bertanggung jawab, mau bekerja keras membesarkan mereka dengan kasih sayang, dan bertanggung jawab pada Allah SWT., itu membutuhkan kesadaran, komitmen, juga ilmu.

Menjadi orang tua membuat kita lupa rasanya menjadi anak-anak. Betapapun ‘bandel’nya mereka, hati mereka membutuhkan kasih sayang orang tua. Jangan tuntut mereka untuk mengerti dunia kita, orang dewasa, tapi kitalah yang harus menyelami dunia mereka.

Menjadi orang tua berarti harus siap menjadi ahli pendidikan, psikolog, motivator, dan juga ustadz-ustadzah. Tentu dalam skala mikro, untuk anak-anak kita tercinta.

Mulailah belajar menjadi orang tua. Jangan natural. Jangan sampai anak-anak kita menjadi korban kebodohan dan kesembronoan kita sebagai orang tua.

Ampuni kami ya Allah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.