Hari Santri lahir dengan pijakan Resolusi Djihad yang dikeluarkan ulama besar negeri. Sebagai sikap perlawanan terhadap ancaman asing pada umat dan negara. Saatnya para santri keluarkan Resolusi Islam untuk selamatkan negeri yang juga sama dikuasai ideologi asing.
Hari ini, 22 Oktober, adalah hari santri. Satu ritual nasional yang baru diadakan di era pemerintahan Jokowi. Sebagai sebuah negeri dengan mayoritas muslim, dan bisa jadi lebih dari ratusan ribu pesantren tersebar dari ujung timur hingga ujung barat, diadakannya Hari Santri rasanya relevan.
Tentu saja kita berharap bahwa dimunculkannya Hari Santri nasional bukan menjadi kepentingan penguasa untuk meraih dukungan dari kalangan pondok pesantren. Namun, kita berharap bahwa peringatan Hari Santri justru bisa menjadi pembangkit energi bagi kaum muslimin untuk memperbaiki negeri. Agar Hari Santri tidak sekedar seremonial yang meluapkan kesenangan hampa, ada dua hal yang penting untuk dipahami kaum muslimin;
Pertama, Hari Santri yang ditetapkan jatuh pada 22 Oktober pijakannya adalah dikeluarkannya Resolusi Djihad yang diserukan dan ditandangani Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Resolusi jihad tersebut dimaklumatkan sebagai seruan kewajiban bagi setiap umat Islam untuk mempertahankan agama Islam dan kedaulatan negeri. Resolusi jihad tersebut berhasil menggerakkan rakyat Indonesia, terutama kaum muslimin menghadapi penjajah ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Peristiwa ini menjadi amat penting untuk dipahami kaum muslimin di Tanah Air, khususnya pihak-pihak yang berkecimpung di dunia pesantren dan pendidikan Islam, bahwa para santri dan pelajar Muslim wajib memahami juga turut menyadarkan umat bahwa jihad adalah bagian dari ajaran Islam. Menghilangkan salah sangka dan citra buruk tentang hukum jihad fi sabilillah. Karena fikih jihad bertebaran di seluruh kitab-kitab mu’tabar mulai dari Kifayatul Akhyar hingga Al-Umm.
Sebagai insan terdidik di lingkungan Islam, maka para asatidz, para santri, para pelajar Muslim juga harus menjelaskan makna yang benar tentang jihad sebagaimana yang diuraikan para ulama. Tidak ikut menyimpangkan makna jihad yang diopinikan sebagian orang yang berujung menjauhkan makna jihad dari pengertian yang sebenarnya.
Sebagai orang menguraikan jihad sebagai perang melawan hawa nafsu. Atau memunculkan terminologi yang menyimpang seperti sebutan jihad ekonomi, jihad pendidikan, dsb. Istilah-istilah tersebut tidak ada dasar pijakannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga tidak pernah diuraikan oleh para ulama mu’tabar dalam karya-karya mereka.
Hal itu terjadi karena ada sebagian muslim yang mengalami rendah diri, minderwaag, ketika Barat menyerang hukum jihad sebagai kekerasan dan terorisme. Kemudian mereka melakukan defensif apologetik terhadap serangan tersebut dengan mengalihkan makna jihad yang hakiki pada pengertian lain. Padahal, itulah yang diinginkan oleh Barat dari kaum muslimin. Munculnya penyimpangan ajaran Islam dari lisan umat ini sendiri.
Para santri dan pelajar muslim, juga para pendidik di lingkungan pesantren justru harus bangga menjelaskan jihad sebagai Perang Suci di jalan Allah. Bangga dengan figur Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Sultan Baabullah, Jenderal Sudirman, dll. Karena mereka mengamalkan ajaran jihad yang murni berperang melawan kaum kafir imperialis.
Kedua, peringatan Hari Santri juga harus bisa menghadirkan ibrah/insight pada para santri dan pelajar Muslim, bahwa kehidupan santri bukanlah kehidupan yang terisolasi dari urusan masyarakat. Para santri dan para asatidz bukanlah rahib yang hanya sibuk dengan urusan ritual ibadah, tidak mau terlibat membahas urusan umat.
Resolusi Djihad yang dibuat oleh Hadratusy Syaikh Hashim Asy’ari adalah contoh bahwa seorang alim punya kewajiban bergerak dalam perjuangan bersama umat. Bahwa kitab-kitab keislaman yang dikaji di pondok-pondok pesantren bukanlah kitab ’mati’ yang selesai bila telah khatam pengkajiannya. Justru kitab-kitab itu dikaji untuk menjadi satu-satunya solusi yang benar dan layak untuk umat manusia.
Sebagai contoh, bab jihad dikaji bukan sekedar kepuasan intelektual an sich, tapi justru wajib diamalkan ketika keadaan menuntut hal tersebut. Maka lahirlah Resolusi Djihad yang membakar semangat perlawanan umat Muslim di Tanah Air mengusir kaum kafir penjajah.
Sebab itu pula, ghirah perjuangan dan perlawanan terhadap anasir asing yang menimpakan mudharat pada umat, wajib dimiliki para santri dan kaum alim. Dunia pesantren justru harus jadi pihak yang paling peka dengan berbagai kerusakan yang ditimbulkan paham-paham asing pada umat. Juga harus berada di barisan terdepan menghilangkan kerusakan-kerusakan tersebut.
Hari ini, Indonesia bukan hidup dengan ajaran Islam, tapi justru menerapkan paham-paham sekulerisme, kapitalisme, demokrasi, liberalisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Para santri dan kaum alim bisa melihat bagaimana perzinahan merebak, muamalah ribawi ala kapitalisme diberlakukan, SDA dikuasai dan hanya dinikmati asing, aseng atau lokal.
Bedanya dengan perjuangan yang dikobarkan para ulama pada masa lalu, dimana mereka menggerakan jihad, maka hari ini para santri dan kaum alim harus menggerakkan dakwah. Menyadarkan umat akan bahaya berbagai pemikiran dan peraturan asing yang bertentangan dengan ajaran Islam. Maka para santri wajib mendakwahkan Islam ke tengah umat, dan menyatakan bahwa hanya Islam solusi terbaik untuk berbagai persoalan di negeri ini.
Dua hal ini yang sekurangnya harus hadir dalam suasana Hari Santri. Sayang bila momen ini berlalu begitu saja hanya seremonial dan kegembiraan sesaat. Padahal, para ulama yang menjadi bagian dari peletak dasar negeri ini sudah mengobarkan ruhul jihad yang luar biasa. Semua demi membebaskan negeri dari ancaman penjajahan oleh Barat. Hari ini, tantangan para santri adalah menghadapi penjajahan pemikiran, budaya dan ideologi yang datang dari Barat. Semua harus dilawan, dan umat wajib diselamatkan.
Jadi, bila dulu Hadratusy Syaikh Hashim Asy’ari kobarkan Resolusi Djihad melawan penjajah, saat ini sudah waktunya mengeluarkan Resolusi Islam untuk selamat negeri. Karena, memang tak ada jalan keluar terbaik melainkan dengan penerapan Islam di seantero bumi.
Leave a Reply