
https://www.cleverism.com/types-of-economic-systems/
Benarkah kapitalisme dan sosialisme memiliki sisi baik yang kemudian pantas untuk dijadikan sebagai sistem ekonomi? Benarkah kebebasan pasar yang digagas oleh Adam Smith sebagai peletak dasar ekonomi kapitalisme memberikan maslahat bagi para pelaku ekonomi dan rakyat banyak?
Kalau rezim Jokowi memiliki brand program pemerintahan dengan nama Nawa Cita, maka program pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Asta Cita. Sesuai namanya, Asta, ada delapan misi pemerintahan Prabowo dalam lima tahun ke depan. Lengkapnya 8 misi, 17 program prioritas, dan 8 program hasil terbaik cepat.
Ada satu bagian yang amat penting dari paper Asta Cita, yang dapat diunduh di sejumlah situs, yakni pembangunan Indonesia akan menjalankan prinsip-prinsip Ekonomi Pancasila.
Apa itu Ekonomi Pancasila? Pemerintahan Prabowo dan Gibran menafsirkan kalau Ekonomi Pancasila adalah paham ekonomi yang mengambil esensi terbaik dari kapitalisme dan sosialisme. Paham ekonomi yang membuka lebar kesempatan berinovasi dengan kebebasan pasar, tetapi juga memperhatikan dan menjamin jaring pengaman sosial (social safety net) untuk masyarakat yang paling lemah.
Pengertian tentang Ekonomi Pancasila memang sudah banyak mendapatkan rumusan dari para peneliti, akademisi dan ekonom. Tim perumus Asta Cita Prabowo-Gibran bukan yang pertama menyebut sistem ekonomi yang diberlakukan di Indonesia adalah irisan antara kapitalisme atau liberalisme dengan sosialisme.
Dulu Bung Hatta menggagas ekonomi Indonesia sebagai ekonomi kerakyatan. Walau ia tidak menyebut hal itu sebagai Ekonomi Pancasila, tapi banyak kalangan yang mengklaim itulah karakternya. Konsep ekonomi kerakyatan sendiri adalah sebuah ideologi “jalan tengah” yang digagas Hatta dalam menanggapi kegagalan komunisme dan liberalisme. Konsep ini dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan penempatan koperasi dalam perekonomian Indonesia.
Ekonomi kerakyatan yang dimaksud Bung Hatta adalah koperasi. Menurutnya inilah bentuk usaha bersama rakyat untuk mencapai tujuan bersama. Munculnya gagasan koperasi dengan dasar pertimbangan realitas yang ada pada zaman kolonial Belanda.
Namun, benarkah kapitalisme dan sosialisme memiliki sisi baik yang kemudian pantas untuk dijadikan sebagai sistem ekonomi? Benarkah kebebasan pasar yang digagas oleh Adam Smith sebagai peletak dasar ekonomi kapitalisme memberikan maslahat bagi para pelaku ekonomi dan rakyat banyak? Lalu apakah sosialisme dengan sistem pengaman sosial dapat menyelamatkan masyarakat ekonomi lemah?
Pasar Bebas Itu Sudah Gagal
Gagasan pasar bebas yang dapat berjalan secara otomatis berkat adanya ’tangan gaib’ dalam teori Adam Smith pada faktanya sudah gagal. Bahwa cukup dengan interaksi antara pelaku ekonomi di pasar maka akan tercipta keseimbangan yang saling menguntungkan antara pedagang dan pembeli.
Sudah banyak kritik terhadap teori pasar bebas ala Smith ini. Tak ada pasar yang secara alamiah dapat mencapai keseimbangan zonder praktek jahat dari keserakahan para pelaku ekonomi. Pasar bebas tanpa pengamanan dari negara menjadi sasaran empuk kaum kapitalis untuk menciptakan kartel bisnis yang memonopoli dan mengeksploitasi SDA dan kegiatan ekonomi.
Dua tahun lalu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkap bahwa industri peternakan ayam di Indonesia dikuasai oleh hanya 2-3 perusahaan besar. Perdagangan minyak goreng di tanah air juga dikuasai kartel yang memegang 72 persen pasar tanah air dikuasai 8 perusahaan besar. Sandiaga Uno dalam kampanye pilpres tahun 2019 menyatakan 94% pasar pangan dikuasai kartel. Hanya 6% yang dipegang Bulog.
Jangan lupa juga bisnis listrik swasta yang merugikan PLN. Perusahaan-perusahaan itu memegang bisnis mula dari pertambangan batu bara. Dengan skema take or pay (TOP), Perusahaan Listrik Negara harus membeli produk listrik swasta. Skema ini membebani dan merugikan PLN. Sebab, dipakai tak dipakai PLN tetap harus membayar. Perusahaan pertambangan dan kelistrikan ini rata-rata dikuasai pejabat negara selevel menteri, atau para kolega mereka.
Karenanya, pasar bebas yang dicita-citakan Adam Smith akan menciptakan keseimbangan pasar secara otomatis, berkat adanya ’tangan gaib’, sudah gagal. Pasar tak kuasa menahan masuknya kekuatan pemodal besar yang menjadi kartel, memonopoli perdagangan, mengatur harga semau mereka, mematikan pengusaha kecil, dan menekan konsumen.
Pasar bebas semakin tenggelam ketika kaum kapitalis berkelindan dengan penguasa untuk mendapatkan privilege melalui jalur konstitusi, ataupun jalur dukungan politik. Merekalah para bohir yang berada di belakang parpol dan penguasa sebagai penyandang dana dalam kontestasi pemilu dan pilkada.
Apalagi, di era sekarang, dengan tanpa malu para pengusaha juga merangkap sebagai penguasa. Simak saja jajaran kabinet Prabowo-Gibran ada 11 pengusaha yang menjadi menteri atau wakil menteri. Sementara DPR atau legislatif yang harusnya melakukan check and balances terhadap eksekutif juga dikuasai pengusaha. Ada 61 persen pengusaha menjadi anggota dewan. Atau, 6 dari 10 wakil rakyat adalah kaum saudagar.
Bisakah para pengusaha itu melepaskan vested interest-nya di pemerintahan atau di gedung perwakilan rakyat? Sulit. Pemerintahan Jokowi saja malah mengesahkan UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang begitu vulgar untungkan pengusaha ketimbang pekerja atau rakyat.
Sementara itu jaring pengaman sosial yang dibuat oleh negara masih jauh dari menyelamatkan kondisi ekonomi masyarakat ekonomi lemah. Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2024, sebanyak 7% hingga 16% warga Indonesia rentan kelaparan. Artinya ada sekitar 19,71 juta hingga 45,05 juta jiwa Indonesia yang rentan kelaparan.
Rakyat juga makin terancam kesulitan mengakses layanan kesehatan BPJS. Ini disebabkan naiknya jumlah penduduk miskin di Indonesia kembali bertambah menjadi 26,4 juta orang atau setara 9,8% dari populasi pada Maret 2020. Mereka berpotensi tak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan yang tarifnya juga dinaikkan terus oleh pemerintah.
Pemerintah juga tetap akan memberlakukan kenaikan PPN menjadi 12% di tahun 2025. Hal ini dipastikan menambah tekanan ekonomi bagi masyarakat serta menurunkan daya beli. Ujungnya akan memacetkan roda perekonomian.
Jangan lupa, ekonomi kapitalisme juga membolehkan berlakukan riba/interest. Padahal secara nyata riba telah menjadi salah satu penyebab utama macetnya roda ekonomi. Riba menjadi alat eksploitasi para pengusaha terhadap masyarakat yang membutuhkan pinjaman. Bahkan tidak sedikit yang hancur akibat sistem ekonomi ribawi.
Rakyat Indonesia hari ini banyak tercekik pinjaman online. Di tahun 2021, tercatat ada 70 juta rakyat Indonesia terjerat pinjol. Sebagian dari mereka makin terhimpit. Muncul kasus perceraian hingga bunuh diri akibat dikejar-kejar debt collector.
Islam Melindungi Masyarakat
Bangsa Indonesia sudah melewati 8 periode kepresidenan, namun tak ada satupun yang mau menjadikan Islam sebagai ideologi negeri dan menerapkan sistem perekonomiannya. Padahal mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Para pejabat dan wakil rakyat pun didominasi umat Muslim. Heran, tak ada tercetus sedikitpun tekad mengubah sistem perekonomian negeri ini ke arah Islam. Meski sudah berkali-kali sistem ekonomi saat ini gagal melindungi masyarakat dan mensejahterakan negeri, tetap tidak mau berganti kiblat menuju Islam.
Bila mau dipikirkan dengan serius, ada sejumlah alasan kuat mengapa harus menjadikan Islam sebagai aturan kehidupan; pertama, sebagai muslim maka keimanan terhadap Islam mewajibkan setiap hamba untuk taat pada aturan Allah tanpa kecuali. Menjalankan syariat Islam adalah konsekuensi keimanan yang tak bisa ditawar. Pengabaian terhadap syariat adalah tanda cacatnya akidah seseorang.
Kedua, secara ajaran Islam adalah sistem kehidupan paripurna. Tak ada satupun bidang kehidupan manusia yang tidak dibahas dalam ajaran Islam. Salah satu bagian penting yang banyak dikaji dalam kitab-kitab fikih adalah persoalan ekonomi atau muamalah. Bukan saja aktivitas ekonomi pribadi, tapi Islam juga menjelaskan perekonomian yang harus dijalankan oleh negara semisal pengaturan kepemilikan SDA, kebijakan mata uang, pelarangan riba, peniadaan pajak, jaminan kehidupan pokok bagi masyarakat, dsb.
Ketiga, secara historis, Islam telah berhasil menciptakan kehidupan ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan. Selama para khalifah berpegang pada pelaksanaan syariat Islam, sejarah mencatat kehidupan umat terpelihara. Para khalifah banyak menyediakan layanan pendidikan dan rumah sakit yang bermutu dan dengan mudah diakses oleh masyarakat tanpa biaya besar, bahkan cuma-cuma.
Selain itu, jaminan kehidupan ekonomi ini berlaku untuk semua warga negara termasuk kalangan nonmuslim. Banyak tudingan yang menyebutkan kalau warga nonmuslim akan dimarjinalkan dalam sistem kehidupan Islam. Pandangan ini kebohongan dan fitnah terhadap agama Islam. Sebab, Kitabullah dan sunnah Nabi Saw telah memerintahkan kaum muslimin untuk melindungi kalangan nonmuslim.
Bahkan pungutan jizyah terhadap kalangan nonmuslim bisa digugurkan ketika mereka termasuk tidak mampu. Hal ini telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab terhadap seorang ahlu dzimmah yang sudah tua yang miskin. Bahkan beliau kemudian memerintahkan Baytul Mal untuk memberikan santunan rutin pada orang tersebut sepanjang hayatnya.
Maka, apakah kebijakan ekonomi yang diambil rezim baru akan bisa mengeluarkan rakyat Indonesia dari keterpurukan dan ketimpangan sosial? Jawabannya ada pada Al-Qur’an;
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (TQS. Thaha: 124).
Leave a Reply