Memang beda masalah rumah tangga setiap zaman? Secara umum sama, tapi ada persoalan lain yang bertambah dalam kehidupan pernikahan setiap generasi. Hari ini, Generasi Z yang mulai membangun pernikahan menghadapi sejumlah problematika yang tidak dihadapi generasi sebelumnya.
Penyebabnya dua; pertama, ketika masyarakat menjauh dari nilai-nilai keislaman maka persoalan-persoalan baru bermunculan. Saat kaum muslimin masih berpegang teguh pada ajaran Islam orang tidak mempersoalkan nikah di usia muda, namun sekarang justru jadi persoalan. Sebaliknya, saat umat Muslim mengendurkan ikatan agamanya, bermunculanlah persoalan seperti pacaran, friend with benefit, sampai hamil sebelum nikah.
Kedua, masalah-masalah baru bermunculan saat banyak anak-anak muda termasuk pasangan yang sudah menikah tidak mau mempelajari agama dan tidak mau menjadikan aturan Islam sebagai aturan bersama dalam rumah tangga.
Di sisi lain, berbagai budaya baru dari Barat bermunculan dan masuk ke dalam kehidupan umat Muslim. Seperti konsumtif, permisivisme (serba boleh), kesetaraan gender, childfree, dsb. Persoalan ekonomi juga menjadi salah satu problematika pasangan Gen Z. Suatu problem yang juga dihadapi pasangan yang lebih senior dari mereka, hanya saja dengan beban yang jauh lebih berat.
Apa saja problematika pasangan Gen Z? Berikut ini di antaranya:
- Jadi Generasi Sandwich
Banyak pasangan Gen Z yang menikah bukan saja menanggung nafkah keluarga inti, tapi juga keluarga orang tua. Salah satu penyebabnya apalagi kalau bukan persoalan ekonomi. Banyak orang tua yang secara terbuka meminta anak lelaki tetap menafkahi keluarga orang tua. Bukan saja ayah dan ibu, tapi juga saudara kandung mereka yang belum bekerja.
Permintaan yang sama juga datang dari sebagian keluarga pihak perempuan. Banyak di antara mereka yang juga meminta agar anak perempuan mereka tetap bekerja untuk menafkahi keluarga orang tuanya, atau bila berhenti bekerja, maka suaminya diminta membantu menafkahi orang tua istri.
- Marry Scary
Generasi sebelumnya mengidamkan pernikahan, dan lempeng saja memandang pernikahan. Namun hari ini Gen Z begitu takut menghadapi pernikahan. Mulai dari takut salah memilih pasangan – abused, tidak setia, dsb –, cemas soal finansial, cemas pendidikan anak, dsb. Apalagi bila melihat kegagalan pernikahan orang-orang terdekat terutama orang tua sendiri, menjadi ’modal’ rasa takut menghadapi pernikahan.
- Cemas Soal Anak
Selain soal finansial untuk membesarkan dan biaya sekolah mereka, pasangan Gen Z juga semakin mengkhawatirkan lingkungan sosial yang makin tidak aman untuk anak. Berbagai kasus kekerasan pada anak, termasuk kejahatan seksual, membuat banyak pasangan Gen Z yang berpikir panjang untuk memiliki atau menambah jumlah anak.
Sebagai orang tua juga ada kekhawatiran tidak mampu mendidik anak dengan baik. Apalagi dengan kondisi kedua orang tua sama-sama bekerja, ada beban moral pada keduanya untuk punya anak atau menambah momongan.
- Ekspresif Emosional Pada Pasangan
Gen Z cenderung ekspresif emosional terhadap pasangan. Rasa cinta dan sayang bisa begitu menggebu bahkan show off. Ditampakkan di muka umum, terutama di media sosial. Banyak pasangan Gen Z yang sering upload foto kemesraan mereka di media sosial. Instagram atau TikTok jadi media pilihan etalase kebersamaan dengan pasangan, termasuk bersama anak.
Namun di sisi sikap ekspresif ini juga rawan dalam menampakkan kemarahan pada pasangan. Gen Z banyak yang tidak menahan diri ketika marah pada pasangan, termasuk istri pada suami. Kemarahan pada pasangan bukan saja ditampakkan lewat bahasa tubuh, tapi juga lewat kata-kata. Bahkan pertengkaran dengan pasangan tidak malu lagi dilakukan di media sosial. Sesuatu yang oleh pasangan babyboomer atau milenial dianggap tabu dan mereka tahan untuk tidak ditampakkan di muka umum, bahkan terhadap pasangan.
- Lebih Bebas, Rawan Selingkuh
Gen Z ini hidup di era ketika budaya sekulerisme-liberalisme makin terasa hingar bingar. Di antaranya budaya permisif atau serba boleh dalam pergaulan pria-wanita, bahkan pada yang sudah berumah tangga sekalipun. Tema-tema perselingkuhan banyak diangkat di drama-drama percintaan lokal maupun asing. Sehingga banyak dikonsumsi Gen Z.
Akibatnya, banyak Gen Z yang menganggap pria-wanita jalan bersama, walaupun sudah sama-sama punya pasangan, hal yang normal. Sebagian dari Gen Z bahkan menganggap perselingkuhan itu bisa ditolerir ketika mereka tidak puas dengan kehidupan pernikahannya. Di sisi lain, ada circle pertemanan Gen Z yang seolah kompak menutupi perselingkuhan kawannya dari keluarga mereka.
- Doom Spending
Pasangan Gen Z juga rentan terkena fenomena doom spending. Perilaku belanja impulsif akibat stres atau kecemasan. Keluarga Gen Z mudah terbawa gaya hidup konsumtif melalui media sosial dan tawaran toko-toko online. Ditambah lagi kemudahan akses metode pembayaran seperti buy now, pay later (BNPL). Akibatnya, banyak yang terjebak dalam utang dan kebiasaan finansial buruk, yang mengancam kestabilan finansial mereka di masa depan.
Keadaan ini menjadi persoalan untuk Gen Z. Tidak sedikit pasangan Gen Z yang sama-sama bekerja dan termasuk kelas menengah namun finansial mereka ambruk karena terbawa arus doom spending ini. Nafsu belanja yang tidak terkontrol, FOMO, menjadikan ekonomi tercekik.
- Pinjaman Online Dan Judi Online
Jumlah warga Indonesia yang terjerat pinjaman online cukup besar. Jumlah transaksinya mencapai lebih dari Rp 72 triliun. Laporan OJK menunjukkan lebih dari separuh pengguna pinjol adalah Gen Z. Kelompok usia yang didominasi generasi milenial dan generasi Z ini mempunyai jumlah nilai utang pinjol sebesar Rp 27,1 triliun, atau setara 54,06% pada bulan Juli 2023.
Selain terdesak kebutuhan ekonomi, penggunaan pinjol terus bertambah seiring budaya konsumtif dan janji-janji manis kemudahan proses pinjaman. Akhirnya banyak keluarga Gen Z dan Milienial terjerat pinjol.
Keluarga Gen Z juga rawan terperangkap judi online. Kemudahan mengakses judol di gawai menyebabkan banyak generasi Z yang menjadi pecandu judol. Keadaan ini mengancam keutuhan pernikahan. Tidak sedikit perceraian terjadi karena pasangan, terutama suami, terjerat permainan judi online.
Entah apakah kondisi ini disadari oleh negara atau tidak. Namun melihat semakin krisis yang menimpa banyak pasangan Gen Z, jadi indikator pemerintah kurang atau bahkan tidak punya perhatian terhadap keadaan ini. Padahal, bila banyak keluarga alami tekanan hidup apalagi hancur, ujungnya justru mengancam tatanan sosial suatu bangsa.
Akan tetapi, negara dalam sistem demokrasi membuat para pejabat dan politisi sibuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka ketimbang mengurus rakyatnya sendiri. Maka, sulit mengharapkan negara akan melakukan peri’ayahan pada rakyatnya.
Solusi yang bisa dilakukan ada dua; pertama, generasi Z harus memperbaiki kualitas hidup mereka dengan Islam. Jadikan Islam sebagai mafahim (pemahaman), maqayis (standar), dan sebagai qonaah (pemahaman yang diyakini penuh) kehidupan. Untuk itu pasangan Gen Z wajib untuk berbenah dan mengikatkan diri dengan Islam.
Dengan Islam, pasangan Gen Z paham makna yakin akan rizki, memiliki sikap tawakal, giat bekerja, siap menjadi pendidik untuk anak, cermat dalam kelola finansial, serta menjauhkan diri dari muamalah haram seperti ribawi dan perjudian.
Kedua, kaum muslimin harus melakukan perubahan tatanan kehidupan menuju kehidupan Islami. Dimana negara, masyarakat, keluarga dan individu ditata dengan syariat Islam. Dasar kehidupan mereka adalah akidah Islam. Islam mewajibkan negara sebagai pihak yang berkewajiban melindungi dan meri’ayah umat, termasuk keluarga.
Dengan begitu berbagai persoalan yang dihadapi keluarga semisal kebutuhan pendidikan, kesehatan, jaminan kebutuhan hidup diselesaikan oleh negara. Masyarakat juga mendapatkan jaminan keamanan yang penuh dari negara sehingga jauh dari kecemasan dan ketakutan.
Sekurang-kurangnya dua hal inilah yang mesti dilakukan oleh pasangan Gen Z agar dapat menata pernikahan mereka dengan baik, menciptakan suasana bahagia serta penuh ketaatan pada Allah Swt.
Leave a Reply