
Photo by Victor Freitas: https://www.pexels.com/photo/man-holding-luggage-bag-1381415/
Pemerintah pernah menyatakan warga Indonesia yang bekerja di luar negeri hanya akan menjadi second class citizen. Tapi kalau bekerja di dalam negeri mereka adalah first class citizen. Sayang realitanya tidak begitu. Ini yang jadi salah satu pemicu tagar #kaburajadulu
Berhari-hari tagar #Kaburajadulu bertengger di trending topic medsos platform X. Komen netizen yang setuju dengan tagar ini masih dominan dibandingkan dengan sebaliknya.
Bukan cuma itu, sejumlah netizen juga men-spill cara mencari kerja di luar negeri. Sebagian bahkan memberi tahu cara berganti kewarganegaraan! Sebagian lagi bahkan terang-terangan menceritakan rasa bahagia mereka bisa bekerja di luar negeri, lebih dihargai, income lebih tinggi dibandingkan UMR. Situs BBC Indonesia menurunkan tulisan cerita seorang WNI yang sudah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Amerika Serikat. ”Saya tidak mau mati sebagai WNI.”
Tanggapan yang kontra jelas ada. Sebagian mengingatkan soal tidak mudahnya mencari kerja di luar negeri. Harus punya skill yang mumpuni jangan cuma kerja di sektor informal. Jangan jadi imigran ilegal karena berbahaya. Tidak gampangnya beradaptasi dengan lingkungan, apalagi banyak negara bule yang tidak imigrant friendly. Masih rasis pada warga non bule, dsb.
Tapi semua pernyataan itu juga mendapat bantahan dari sebagian netizen yang sudah tinggal di negeri asing. Secara ekonomi mereka berani bilang gaji lebih layak. Lebih mudah juga cari kerja, tidak dibatasi umur seperti di tanah air, dsb.
Namun di luar perdebatan pro dan kontra ’kabur aja dulu’ harusnya kita bisa menangkap problem utamanya. Bukan soal skill, bukan soal kerja di sektor informal atau formal, apalagi soal nasionalisme. Ini soal bertahan hidup. Sayangnya jutaan rakyat di tanah air tidak mendapatkan jaminan pekerjaan yang layak, dan tidak mendapat jaminan hidup yang aman.
Bukankah sudah sejak lama banyak orang Indonesia menjadi TKI ke berbagai negara di Timur Tengah? Sampai hari ini ada sekitar 988 ribu Bukankah mereka menjadi TKI karena merasakan beban ekonomi semakin berat sementara mencari kerja tidak mudah di tanah air. Kalaupun ada jauh dari kelayakan?
Sementara di negeri orang sebagian besar dari mereka merasa mendapat kehidupan yang layak meski itu bekerja di sektor informal. Sebut saja Saudi Arabia, seorang pembantu rumah tangga atau supir pribadi rata-rata mendapat upah 2000 riyal atau setara Rp 8,6 juta. Sedangkan gaji perawat sekitar 5000 riyal atau sama dengan Rp 21,6 juta. Berapa gaji pekerjaan seperti itu di tanah air?
Ada seorang anak muda bekerja di satu rumah sakit besar di kota saya tinggal, Bogor, di unit laboratorium, hanya mendapat upah Rp 4 juta/bulan. Padahal unit tempat kerjanya yang merupakan unit terkecil di rumah sakit itu bisa mendulang penghasilan perbulan 3 miliar rupiah.
Ada lagi anak muda kenalan saya lulusan jurusan teknik pesawat dari satu kampus elit nasional di Bandung. Namun saat keluar dari kampus ia dan kawan-kawannya kesulitan mendapatkan pekerjaan layak sesuai dengan disiplin ilmunya. Ia dan banyak kawan senasib banting stir ke profesi lain demi bisa bertahan hidup.
Inti persoalannya warga Indonesia yang memilih hengkang ke luar negeri adalah soal bertahan hidup. Menafkahi diri sendiri, keluarga juga orang tua. Mengapa lalu mereka yang disalahkan? Dituding tidak cinta tanah air? Atau ditakut-takuti?
Second Class Citizen?
Namun seperti yang bisa dilihat. Tak ada perasaan bersalah pada penyelenggara negeri ini. Melihat anak-anak negeri eksodus ke negeri orang, yang ada malah nyinyir atau menakut-nakuti para pencari nafkah itu.
Tahun lalu, Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), berbicara mengenai peluang diaspora-diaspora Indonesia untuk pulang dan berkarya di Tanah Air.
Menurut Luhut yang sekarang menjadi ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), kaum diaspora Indonesia hanya akan menjadi warga negara kelas dua di negeri orang.
“Ya kalau kau nggak mau balik ya bodoh aja, peluang di sini bagus. Kamu di Amerika (atau) di mana pasti akan second class, nggak akan bisa kau (jadi) first class citizen,” katanya di acara Ngobrol yang Paten-paten Aja Bareng Menko Marves dengan Total Politik.
Luhut mengatakan kalau orang Indonesia hanya bisa menjadi warga negara kelas pertama jika berada di kampung halamannya sendiri. “Kamu first class citizen di Indonesia, di kampungmu ini,” tambahnya.
Tapi benarkah warga Indonesia semuanya menjadi first class citizen di kampungnya sendiri? Di negerinya sendiri? Faktanya menjadi warga negara kelas satu adalah privilege yang tidak bisa dimiliki semua warga Indonesia. Sudah jadi rahasia umum banyak tempat kerja baik itu di instansi pemerintah atau swasta yang bisa lebih mudah diisi jika ada orang dalam.
Mereka yang sudah bekerja pun masih sport jantung karena banyak yang hanya menjadi tenaga kontrak. Sewaktu-waktu perusahaan bisa melepas mereka dengan bebas. Hal sama juga di instansi pemerintah. Para pegawai honorer sulit mendapatkan kepastian diangkat menjadi PNS. Tragisnya kondisi mereka rata-rata underpaid. Ada yang malah dibayar dengan rapel itupun nilainya masih amat kecil.
Di negeri ini uang akan memberikan kuasa, dan kuasa akan memberikan uang. Inilah lingkaran setan ekonomi dan politik. Maka ada jajaran elit pengusaha dan penguasa yang mereka kuasai berbagai bisnis dengan omset triliunan rupiah. Luhut Binsar Panjaitan misalnya, punya 14 perusahaan raksasa mulai dari enerji, pertambangan, properti, dll. Di masa pageblug, Luhut bersama Erick Thohir juga memainkan bisnis PCR.
Hal yang ironis, di masa pandemi, ketika ekonomi rakyat terjun bebas, kekayaan para pejabat negara justru meningkat. KPK melaporkan 70 persen lebih kekayaan para menteri meningkat. Sementara lebih dari tiga juta warga terkena PHK.
Rakyat juga melihat perbedaan gaji antara TKA asal Cina dengan tenaga kerja pribumi di sejumlah kawasan hilirisasi pertambangan. Perbedaan gaji antara TKA dengan warga pribumi dengan jabatan yang sama bisa sampai sepuluh kali lipat!
Belum lagi dari penegakkan hukum. Di antara keluhan rakyat adalah mereka sulit mendapatkan keadilan. Publik juga melihat kasus pagar bambu di Laut Tangerang yang sampai hari ini belum ada satupun pejabat ataupun pihak swasta yang diseret menjadi tersangka. Sementara rakyat kesulitan mempertahankan lahan mereka karena muncul sertifikat ganda, atau diambil alih negara dengan pasal domain verklaring.
Jadi, bagaimana bisa pemerintah menjamin rakyat sendiri bisa menjadi first class citizen? Kekecewaan dan kemuakan ini yang mendorong sebagian warga berbondong-bondong eksodus ke luar negeri. Sebagian lagi malah berganti kewarganegaraan. Kalau kemudian pemerintah tidak merasa tertampar, tidak merasa malu, berarti memang sudah bebal.

Leave a Reply