Negara Memang Harus Lindungi Keluarga

Ada yang terusik dengan RUU Ketahanan Keluarga yang tengah diusulkan oleh … Beberapa pasal di dalamnya membuat sejumlah orang kebakaran jenggot. Pasal-pasal yang digugat terutama tentang peran suami sebagai pencari nafkah, peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, pemisahan kamar bagi anak-anak, dan terutama yang paling dikritisi adalah memasukkan LGBT sebagai penyimpangan seksual.

Meski bukan jauh dari kesempurnaan, namun RUU Ketahanan Keluarga itu mengandung spirit mengembalikan keluarga Indonesia menuju keluarga normal. Dimana peran masing-masing anggota keluarga berjalan sebagaimana mestinya. Para ayah sebagai tulang punggung keluarga dan para istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Demikian pula pemisahan kamar tidur dan pencegahan LGBT adalah bagian yang penting untuk membawa keluarga Indonesia menjadi keluarga yang normal.

Dalam aturan itu, disebutkan di antaranya suami wajib melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran.

Sementara, peran istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; menjaga keutuhan keluarga; serta memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Melihat sejumlah konten RUU Ketahanan Keluarga yang dikritisi sejumlah kalangan, justru kita merasa aneh; mengapa norma-norma yang wajar dan normal dalam keluarga dianggap kontroversi? Mengapa suami dianggap tidak pantas menjadi tulang punggung keluarga? Mengapa istri dipandang rendah bila menjadi istri mengatur urusan rumah tangga?

Alasan para penentang RUU ini dua hal; negara mengintervensi ruang keluarga/urusan privat dan RUU itu amat patriarki/membela kaum lelaki. Sebagian orang menyebut RUU ini adalah kemunduran karena ya itu tadi, terlalu patriarki.

RUU Ketahanan Keluarga memang tidak sempurna, namun yang menjadi concern atau pemikiran kita, negeri ini sudah mengalami krisis nilai-nilai sosial, termasuk keluarga. Angka perceraian nasional terus meningkat.

Berdasarkan data Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung pada periode 2014-2016, perceraian di tanah air trennya memang melonjak. Dari 344.237 perceraian pada 2014, naik menjadi 365.633 perceraian pada 2016. Rata-rata angka perceraian naik tiga persen per tahunnya.

Di tahun 2019, hampir setengah juta orang Indonesia bercerai. Sebanyak sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Indonesia juga darurat kekerasan pada anak. Tiap tahun KPAI menerima laporan rata-rata 4.500 kasus pelanggaran hak anak. Sebagian besar (40 persen) berkaitan dengan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), yaitu kondisi di mana anak berkonflik dengan hukum sebagai pelaku tindak kekerasan, sebagai korban kekerasan, maupun sebagai saksi tindak pidana.

Kekerasan yang dominan terjadi pada anak saat ini adalah kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Dan pelaku kekerasan itu justru orang dekat, dan bukan hanya ayah kandung, tapi ibu kandung pun menjadi pelaku.

Berdasarkan riset KPAI tahun 2015, Naswardi mengatakan bahwa ayah dan ibu kandung menempati posisi teratas sebagai pelaku kekerasan (28 persen dan 21 persen). Selanjutnya, guru (10 persen) dan ayah tiri (6 persen) adalah orang terdekat yang sering melakukan kekerasan pada anak.

Jadi, krisis keluarga manalagi yang mau didustakan? Bahwa banyak keluarga di Indonesia tidak berjalan normal dan harmonis?

Apakah negara memang tidak boleh memasuki ruang privat, apalagi keluarga? Tentu saja ini pikiran khas kaum liberal, dimana sejalan dengan doktrin ajaran demokrasi rakyat tidak boleh dikekang ekspresi seksualnya semisal mempraktekkan LGBT, sadomasochis, dll.

Kalau memang negara tidak boleh intervensi ruang privat, kenapa ada yang memperjuangkan agar para suami dipidanakan bila memaksakan hubungan intim pada istri-istri mereka (marital rape)? Bukankah itu ranah privat?

Sekali lagi, RUU Ketahanan Keluarga memang tidak sempurna dan memang tidak akan bisa menyelesaikan persoalan keluarga di tanah air secara komprehensif dan menyeluruh. Misalnya soal peran ayah sebagai tulang punggung keluarga tidak bisa berjalan bila negara tidak menjalankan perannya sebagai pemberi lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, khususnya untuk para ayah.

Sulitnya kaum lelaki mendapat pekerjaan, plus persaingan dengan perempuan, membuat banyak suami/ayah yang bekerja serabutan, upah tak memadai atau bahkan jobless. Akhirnya sebagian perempuan mengambil alih tugas mencari nafkah mulai menjadi pembantu rumah tangga, kondektur, hingga menjadi TKW.

Ketika para istri bekerja mencari nafkah, atau keduanya bekerja, juga muncul beragam persoalan dalam keluarga. Tidak jarang muncul disharmonisasi keluarga, istri tidak patuh pada suami, lalu suami merasa tidak dihargai, anak terbengkalai, belum lagi perselingkuhan dan perceraian karena para istri terlibat sebagai pencari nafkah.

Problematika keluarga di tanah air itu komplek sehingga membutuhkan penanganan yang menyeluruh di semua lini. Tak mungkin membenahi keluarga tanpa membenahi persoalan ekonomi, pendidikan, hukum, dan peran negara. Sepanjang ini, arah pembangunan dan kebijakan negara amat minim dari membenahi keluarga.

Tidak mungkin juga menyelesaikan carut marutnya keluarga Indonesia dengan nilai sekulerisme-liberalisme dalam tatanan demokrasi. Ini bukan tuduhan, tapi bukankah buruknya potret keluarga Indonesia hari ini adalah bukti penerapan semua nilai itu di masyarakat? Bandingkan saja dengan negara-negara yang menganut ideologi serupa, hasilnya sama rusaknya.

Sebenarnya hanya Islam yang bisa menyelesaikan persoalan keluarga secara lengkap, komprehensif dan menyeluruh. Karena Islam adalah ideologi yang memberikan solving problem untuk semua persoalan kemanusiaan. Dalam bidang keluarga saja, tercakup di dalam ajaran Islam bahasan peran suami-istri, nafkah, kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan, pendidikan, silaturahim, hingga waris. Di luar itu, ada jaminan kebutuhan hidup, pendidikan, keamanan, dan pidana yang wajib ditegakkan oleh negara.

Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab terbesar keluarga, setelah suami/ayah. Negara harus melindungi setiap anggota masyarakatnya, termasuk ayah-ibu dan anak-anak mereka. Dalam Islam, jangankan manusia, ternak saja dijaga agar jangan mati sia-sia. Sebagaimana perkataan Khalifah Umar RA:

لَوْ مَاتَ جَدْيٌ بِطَفِّ الْفُرَاتِ لَخَشِيتُ أَنْ يُحَاسِبَ اللّهُ بِهِ عُمَرَ

Artinya, “Seandainya jady (anak kambing umur satu tahun) mati di pinggir sungai Eufrat, maka aku takut bahwa Allah akan menghisab Umar sebab kematian anak kambing itu,” (Lihat Yusuf bin Hasan bin Abdul Hadi Al-Mubarrad, Mahdlus Shawab fi Fadla`ili Amiril Mukminin Umar bin Al-Khattab, halaman 621).

Sayang, di tanah air, masih ada orang yang malah tidak senang melihat keluarga berjalan normal. Karena bagi mereka keluarga yang abnormal, malfunction, justru indah dan dianggap normal. Untuk itu mereka curiga dan akan menghantam siapa saja yang ingin merusak ketidaknormalan keluarga di Indonesia. Dan pihak yang paling mereka musuhi adalah Islam dan para orang-orang yang memperjuangkan ajaran Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.