Solusi Islam Soal Konflik Lahan: Menenangkan

foto: mongabay.co.id

Konflik antara warga Rempang, Bangka Belitung, dengan aparat dalam sengketa tanah adat dan hunian mereka menambah jumlah sengketa lahan di Indonesia. Warga merasa tanah mereka yang mereka diami adalah tanah adat dan sudah mereka huni turun temurun. Warga mengklaim mereka telah menghuni Pulau Rempang sejak tahun 1934. Sementara pemerintah meyakini bila tanah itu sudah jadi hak milik PT Makmur Elok Graha (MEG). Kawasan itu akan dijadikan Rempang Eco City yang akan digarap oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama dengan perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG). Sebagaimana penjelasan Menkopolhukam Mahfud MD bahwa Pulau Rempang telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.

Konflik Rempang menambah panjang deretan kisruhnya persoalan lahan di tanah air. Anggota Ombudsman Dadan S Suharmawijaya mengatakan laporan masyarakat tentang agraria mencapai 1.612 laporan sepanjang 2021. Laporan ini lebih tinggi dibandingkan isu lainnya, seperti kepegawaian (984 laporan), kepolisian (940 laporan), dan pendidikan (913 laporan).

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil membeberkan jumlah tanah sengketa yang kita daftarkan sudah hampir 90 juta bidang tanah, sementara yang berkonflik ini mencapai 8.000 kasus.

Sementara itu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 2.710 konflik agraria terjadi di seluruh Indonesia selama delapan tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, belum ada upaya konkret yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut.

KPA menilai banyaknya konflik agraria tak bisa dilepaskan dari kebijakan proyek strategis nasional (PSN). Kepala Kepala Departemen Kampanye KPA Benni Wijaya menuding proyek-proyek memperparah konflik agraria di Indonesia. Setiap tahun terjadi lonjakan apalagi dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang implementasinya tidak hanya memperluas eskalasi konflik, tapi juga menghambat penyelesaian konflik.

Hal yang patut disayangkan, banyak data di lapangan yang memperlihatkan aparat justru semakin sering menggunakan cara-cara represif dalam menghadapi aksi tuntutan warga. Kasus sengketa lahan Dago Elos di Bandung, Jawa Barat misalnya, aparat sampai menyisir rumah-rumah warga bahkan mendobrak masuk. Kasus Wadas, Jawa Tengah, kembali aparat menggunakan cara represif. Terakhir dalam kasus Rempang, Bangka Belitung, lagi-lagi kekerasan dijadikan cara penanganan konflik lahan.

 

Menangkan Oligarki

Dari berbagai konflik agraria yang terjadi nampak bahwa negara lebih banyak berpihak pada pengusaha ketimbang pada rakyat. Dari komposisi kepemilikan lahan saja sudah terlihat ketimpangan antara pengusaha dan rakyat. Pada tahun 2018, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, mengakui ketimpangan penguasaan lahan. Dari sekitar 120 juta hektar hutan, kata Bambang, masyarakat hanya menguasai 2% atau 0,4 juta hektar. Sisanya masuk dalam konsesi yang diberikan pada perusahaan, dari hak penguasan hutan hingga izin hutan tanaman industri.

Keberpihakan pemerintah makin terlihat dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang di dalamnya pengesahan Badan Bank Tanah. Regulasi ini jadi satu dari 49 peraturan pelaksana UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pengesahan PP ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 135 dalam UU Cipta Kerja.

Dalam kebijakan itu menyebutkan kalau bank tanah sebagai pengendali utama dalam pengadaan dan pengalokasian tanah di Indonesia. Fungsinya, mulai perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan hingga pendistribusian tanah. Pendirian Badan Bank Tanah ini rawan menjadi ajang liberalisasi lahan milik warga untuk para investor dengan bungkus pembangunan nasional.

Bank Tanah mengadopsi asas domein verklaring (negaraisasi tanah) dan menyelewengkan hak menguasai dari negara. Asas ini dapat dilihat dari cara kerja Bank Tanah yang melihat tanah sebagai milik negara. Bahkan, dipersempit lagi menjadi milik pemerintah. Praktik domein verklaring ini digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengakuisisi tanah masyarakat dan asas ini sudah dihapus UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dari hasil penetapan tanah negara oleh pemerintah selanjutnya tanah akan dijadikan hak pengelolaan (HPL) dan dimasukan sebagai sumber tanah bagi Bank Tanah.

Kebijakan ini semakin mendesak dan menyulitkan posisi masyarakat dalam kepemilikan lahan. Begitu pula status tanah ulayat juga semakin terjepit karena secara hukum bisa dikuasai negara berdasarkan UU Cipta Kerja ini.

Apalagi sampai hari ini kepemilikan lahan oleh rakyat masih terancam oleh mafia tanah. Berulangkali terjadi pengambilalihan kepemilikan tanah karena terjadi sertifikat ganda. Celakanya berkali-kali kejahatan penggandaan atau pengambilalihan sertifikat tanah melibatkan internal pegawai dan pejabat Badan Pertanahan Negara.

 

Pandangan Islam

Sebagai sebuah ideologi yang sempurna, Islam memiliki pandangan khusus tentang lahan. Hukum kepemilikan lahan mengikuti status kepemilikan secara umum dalam syariat Islam; yakni kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan oleh negara (daulah).

Titik krusial persoalan lahan adalah mengenai status kepemilikannya; kapan dan bagaimana cara seseorang diakui sebagai pemilik lahan serta. Di negeri ini, kepemilikan lahan ditentukan oleh bukti surat kepemilikan tanah berupa girik atau sertifikat tanah. Tanpa itu, meskipun seorang warga telah tinggal dan menggarap lahan itu puluhan tahun tidak punya kekuatan hukum. Inilah yang sering menjadi titik konflik lahan antar warga, termasuk warga dengan korporasi bahkan dengan negara.

Syariat Islam mengizinkan individu muslim atau orang kafir untuk memiliki lahan. Baik untuk keperluan tempat tinggal, usaha, atau pertanian. Kepemilikan lahan dalam syariat tidak ditentukan oleh surat kepemilikan tanah, tapi cara menghidupkannya seperti mematoknya atau mengelolanya di atas lahan yang memang tidak ada pemiliknya. Sabda Nabi Saw:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain). (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Juga sabdanya:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabrani).

Selanjutnya syariat Islam menetapkan ambang batas penelantaran lahan. Bila lahan yang telah dimiliki dengan cara dipagari misalnya, tidak dikelola seperti tidak ada bangunan di atasnya, tidak dijadikan lahan pertanian, atau hal-hal yang menunjukkan tanda pengelolaan lahan, maka negara akan menyita lahan tersebut dan memberikannya pada individu atau korporasi yang sanggup mengelolanya. Ketetapan ini berdasarkan ijma sahabat yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab ra.

Imam Abu Ubayd dalam kitab Al-Amwal meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra mengambil lahan milik Bilal bin Al-Harits Al-Mazani yang merupakan pemberian dari Rasulullah Saw. Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra berkata pada Bilal, “Sesungguhnya Nabi Saw tidaklah memberikan lahan ini padamu sekedar untuk dipagari dari orang-orang, akan tetapi beliau memberikannya padamu untuk dikelola. Maka ambillah yang sanggup engkau kelola dan kembalikan sisanya.”

Limit penelantaran tanah sampai akhirnya nanti akan ditarik oleh Negara Khilafah untuk diberikan pada pihak lain adalah setelah tiga tahun. Amirul Mukminin Umar ra juga mengatakan kepada kaum muslimin, “Tidak ada hak (kepemilikan) bagi orang yang memagari (lahan) setelah tiga tahun.”

Karenanya, negara tidak berhak merampas tanah milik warga muslim maupun kafir sekalipun mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan, selama ia bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok atau dikelolanya, serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun.

Perampasan terhadap tanah rakyat walaupun atas nama pembangunan, apalagi faktanya disetorkan kepada investor, adalah kezaliman yang terkategori dosa besar. Sabda Nabi Saw:

 مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

 Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi. (HR. Bukhari)

Andaikan memang tanah warga dibutuhkan untuk kepentingan negara dan publik yang urgen dan mendesak, maka wajib bagi negara untuk memberikan ganti, baik dengan harga yakni membeli tanah dan seluruh bangunan atau tanaman yang ada padanya dengan harga yang layak, atau melakukan tukar guling dengan tanah yang sepadan dan keridhoan pemiliknya. Haram hukumnya negara memaksa warga menjual tanahnya dengan harga murah. Allah Swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridho di antara kamu. (TQS. An-Nisa [4]: 29)

 

Soal Tanah Ulayat

Dari situs hukumonline terdapat penjelasan mengenai tanah ulayat;  Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat.

Bila ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, tanah ulayat berdasarkan penjelasan di atas termasuk kepemilikan komunitas tertentu, sehingga sama dengan kepemilikan pribadi pada umumnya seperti lahan yang diperoleh dengan patungan, atau bangunan yang didirikan dari hasil sirkah. Maka berlakulah hukum-hukum kepemilikan lahan pribadi pada tanah tersebut. Wajib bagi warga yang memiliki tanah tersebut untuk mengelolanya seperti bercocok tanam atau didirikan bangunan, dsb.

Jika pada tanah ulayat itu ternyata ada hajat bersama bagi masyarakat seperti ladang gembalaan, hutan, mata air untuk kepentingan bersama, maka status tanah tersebut adalah menjadi kepemilikan umum. Sebagaimana hadis:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ

Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram. (HR. Ibnu Majah)

Negara maupun individu tidak boleh menguasai lahan yang menjadi kepemilikan umum karena memang sifat yang melekat pada tanah itu adalah menjadi hajat bersama masyarakat. Haram hukumnya bagi negara menguasai lahan tersebut atau memberikannya pada investor.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi diriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah menarik kembali tambang garam yang diberikan pada Abyad bin Hamal ra. setelah beliau diberitahu bahwa deposit garam pada tambang tersebut jumlahnya adalah banyak. Dikatakan pada Nabi:

 أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ 

“Apakah Anda tahu apa yang sudah Anda berikan padanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan untuknya air yang berlimpah.”

Demikianlah solusi Islam terkait pengaturan lahan. Bila dilihat secara keseluruhan solusi ini menenangkan. Kecil terjadinya peluang konflik antar warga maupun warga dengan negara. Karena itu, bila memang umat Muslim menghendaki aturan yang terbaik dalam pengaturan lahan, maka hanya Islam satu-satunya jalan. Yakini dan terapkan. Untuk itu butuh kekuatan negara sebagai penegak aturan, yaitu Negara Islam, Khilafah Islamiyyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.