Anda tahu anestesi? Anestesi adalah obat penghilang rasa nyeri. Berasal dari bahasa Latin, (an-“tidak, tanpa” dan aesthētos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi lazim digunakan dalam dunia kedokteran. Berkat penemuan anestesi, berbagai operasi ringan hingga berat dapat dilakukan tanpa menyiksa pasien.
Ternyata bukan hanya dalam dunia kedokteran orang membutuhkan anestesi. Dalam kehidupan sosial banyak orang juga membutuhkan ‘anestesi’. Bukan anestesi medis, tapi istilah saya ‘anestesi sosial’. Kehidupan yang semakin keras membuat banyak orang membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan rasa sakit mereka. Pastinya bukan sakit fisik, tapi sakit batin.
Sejak tahun 1983 sampai 2009, tingkat stres mengalami peningkatan sebesar 18% pada wanita dan 24% pada pria. Kesimpulan ini ditemukan oleh para peneliti di Carnegie Mellon University di Pittsburgh yang menganalisis data lebih dari 6.300 orang. Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat dan dianggap sebagai yang kali pertama membandingkan tingkat stres[i].
Stres sudah menjadi bagian hidup para pekerja. Berdasarkan survei yang dilakukan Canada Life, lebih dari setengah karyawan di Inggris merasa tingkat stres mereka bertambah dibanding tahun lalu.[ii]
Survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1.100 karyawan itu, seperempatnya mengatakan mereka terlalu banyak bekerja dan tidak bisa memiliki work-life balance. Yang mengejutkan 22% dari mereka mengaku terlalu takut untuk meminta bantuan kepada rekan dan atasannya.
Di Indonesia gejala stress juga melanda. Survei yang dilakukan Regus mengatakan bahwa 64 persen pekerja di Indonesia merasa tingkatan stres mereka bertambah dibandingkan tahun lalu. Dunia pekerjaan begitu akrab dengan tekanan yang kerap kali membuat orang merasa stres. Sebuah survei yang dilakukan pada lebih dari 16 ribu orang pekerja profesional di seluruh dunia, ditemukan bahwa lebih dari setengah pekerja di Indonesia, yakni 64 persennya mengatakan bahwa tingkatan stres mereka bertambah dibandingkan tahun lalu[iii].
Kita tahu kemudian untuk menghilangkan stress orang melakukan berbagai cara; mengurangi beban pekerjaan, berlibur, hingga lari ke tempat dugem termasuk mengkonsumsi drugs dan alkohol. Itu adalah anestesi kehidupan sosial.
Salah satu anestesi sosial itu adalah agama. Ya, saat ini kita melihat berbagai kalangan meleburkan ke dalam agama. Kita melihat dari mulai tukang sayur hingga kalangan berdasi dengan kendaraan cc besar hanyut dalam aktifitas keagamaan. Majlis zikir, majlis sholawat, kajian akhlak, dsb. padat dihadiri umat. Sekolah-sekolah Islam dan berbagai pesantren ramai dimasuki anak-anak muslim dari keluarga ekonomi grade A.
Ini jelas sinyal positif. Tepatnya satu langkah ke depan. Tapi masih banyak langkah-langkah lain yang harus ditempuh. Mengapa? Karena bila umat hanya berhenti sampai di sini, maka komplit sudah sifat agama (Islam) hanya sebagai anestesi, obat penghilang rasa nyeri, tapi tidak menghilangkan biang penyakitnya.
Bila umat sudah berpuas diri menjadikan Islam sebagai anestesi sosial, maka justru akan menghilangkan enerji dan cahaya Islam itu sendiri. Hal ini dikarenakan mereka hanya akan mau berislam sebatas apa yang mereka mau rasakan, selebihnya tidak. Mereka yang menjadikan Islam sebagai anestesi sosial enggan melaksanakan Islam jika dirasa mengganggu kepentingan dan kenyamanan hidup mereka. Bagi mereka, bila pribadi sudah tenang maka cukuplah sudah.
Sebutlah, berapa banyak muslimah yang sudah mulai terpanggil berkerudung tapi masih merasa berat untuk berhijab secara kaffah. Sebagian malah bertabarruj layaknya model. Atau berapa banyak muslim yang mau meninggalkan perkara bid’ah dalam urusan ibadah, tapi belum mau melepaskan diri dari ribawi saat bermuamalah.
Atau dalam kasus penghinaan terhadap Rasulullah saw. oleh Charlie Hebdo, berapa banyak muslim di tanah air – termasuk para penguasanya – turun menunjukkan kemarahan? Minim. Padahal bila digelar majlis shalawat maka bisa mendatangkan ribuan bahkan ratusan ribu massa ke lokasi. Islam sebagai anestesi menghilangkan kesadaran umat akan Islam sebagai ideologi paripurna.
Sebenarnya kita telah diingatkan oleh Allah SWT. akan sikap negatif ini. FirmanNya:
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS. Al-Hajj: 11)
Lebih fatal lagi, dengan menjadikan Islam sebagai anestesi menghilangkan kesadaran mereka terhadap sebagian hukum-hukum Islam. Tidak aneh, bila muncul pernyataan dari Pak Busyro Muqaddas bahwa sebagian besar koruptor itu rajin beribadah. “Salat tetapi korup dan tetap nekad korup, adalah pendusta Islam,” terang Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas[iv]. Publik takkan lupa pada beberapa tokoh parpol Islam yang sebagian masuk bui karena korupsi, sebagian lagi menjalani status sebagai tersangka. Siapa sangka juga kalau Soetan Batoeghana yang menjadi terpidana kasus korupsi migas juga rajin mengingatkan amalan shalat tahajjud pada sesama kader parpol dan pengurus DPP Partai Demokrat.
Islam sebagai anestesi muncul karena sebagian orang berislam sebatas mengikuti perasaan, bukan kesadaran utuh. Akibatnya hidupnya separuh Islam, separuh sekulerisme, kapitalisme, dsb. Padahal berislam harus datang dari kesadaran utuh, sehingga setiap muslim siap dan rela menundukkan dirinya pada aturan Allah SWT. Ia siap pula menyingkirkan kepentingan-kepentingan pribadinya.
Malulah kita kepada Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash – semoga Allah meridloi keduanya – yang melepaskan semua atribut keduniawiannya saat bergabung dalam barisan kaum muslimin. Bahkan Mush’ab bin Umair ra. rela hidup layaknya orang tak punya karena diusir kedua orang tuanya. Padahal andai ia mau memilih, ia tetap bisa menjadi pemuda kaya raya, berpakaian perlente, wangi dan digilai banyak wanita Mekkah. Tapi itulah pilihan hidupnya. Mush’ab memilih Islam dengan kesadaran tinggi, bukan sekedar mencari kepuasan dan ketenangan batin. Bukan menjadikan Islam sebagai anestesi kehidupan.
Inilah keislaman yang harus kita miliki. Islam yang dituntut oleh Allah SWT. bukan mengikuti kata hati kita dan kepentingan duniawi kita.
Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-An’am: 162).
[i] http://health.detik.com/read/2012/06/15/172827/1942486/763/tingkat-stres-naik-dari-tahun-ke-tahun-sejak-1983
[ii] http://www.portalhr.com/berita/tingkat-stress-karyawan-meningkat/
[iii] http://lifestyle.okezone.com/read/2012/09/17/198/691019/waspada-stres-intai-64-persen-pekerja-di-indonesia
[iv] http://news.detik.com/read/2012/06/18/082852/1943555/10/rajin-ibadah-kok-tetap-korupsi-kenapa
Leave a Reply