Minggu belakangan ini kita dihebohkan dengan keluarnya buku yang mengajarkan remaja cara melakukan hubungan seks pranikah. Buku yang dikeluarkan oleh seorang konsultan parenting dan keluarga ini mengajak remaja untuk tidak ragu melakukan seks pranikah dengan tambahan keterangan dari penulisnya, asal remaja pelakunya sudah siap dan tanpa paksaan.
Ini bukan buku yang pertama yang mengajarkan dan menerangkan aktifitas seksual untuk remaja. Sebelumnya juga ada buku yang mempromosikan lesbian, gay, biseksual dan transgender keluaran penerbit mainstream, Gramedia. Setelah dikecam keras oleh berbagai kalangan akhirnya buku berbentuk komik itu ditarik. Editornya mengaku khilaf memuat konten tersebut. Alasan ganjil bila penerbit sebesar Gramedia bisa ‘kecolongan’ memuat konten yang bertentangan dengan agama mayoritas di negeri ini.
Di masa Orde Baru juga pernah keluar bertitel Adik Baru. Buku ini oleh penulis dan penerbitnya ditujukan untuk memberikan edukasi seksual kepada remaja dan anak-anak! Buku ini pun akhirnya ditarik ulang oleh penerbitnya.
Sepintas jadi muncul pertanyaan; apakah remaja kita begitu ‘bodohnya’ sehingga sampai perlu diajarkan cara-cara itu? Rasanya sih tidak, karena melihat hasil survey dan investigasi yang dilakukan oleh berbagai LSM juga pemerintah, jumlah remaja pelaku pranikah selalu meningkat setiap tahunnya. Ambil saja hasil temuan Komnas PA pada tahun 2008 yang menyebutkan 62,7 persen pelajar SMP sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah (baca: perzinahan).
Ujung dari perbuatan mereka itu beragam; ada yang menyesal kemudian bertobat, ada yang kemudian hingga hamil lalu menggugurkan kandungan atau membuangnya ke mana saja, ada juga yang sudah tidak hamil karena sudah cekatan menggunakan alat kontrasepsi. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengulangi lagi perbuatan keji itu dengan pacar-pacarnya yang lain, atau kemudian terjun ke dunia pelacuran.
Ada dua pandangan yang mengemuka dalam menyikapi persoalan ini; kelompok pertama yang melarang total karena terlarang secara agama dan sosial, yang kedua adalah yang memilih memfasilitasi aktifitas seksual para remaja.
Kelompok yang kedua beralasan aktifitas seksual tak bisa dicegah dan sudah menjadi hak asasi setiap orang, termasuk remaja. Maka bagi mereka, melarangnya bertentangan dengan hak asasi dan tidak demokratis. Siapapun harus dihormati haknya dan diberikan kesempatan untuk melakukan aktifitas seksual dengan siapa saja dan kapan saja, termasuk para remaja. Oleh karena itu menurut mereka, jauh lebih terhormat memfasilitasi aktifitas seks pranikah bagi remaja dan memberikan penyuluhan agar mereka mendapatkan apa yang disebut sebagai ‘safe sex’.
Kelompok kedua inilah yang sekarang mendominasi pemikiran dan budaya bangsa kita. Ada dari kalangan LSM, konsultan parenting, psikolog, pengamat sosial, wartawan, juga budayawan. Bahkan ada juga seorang ustadz muda yang mengaku lulusan pesantren di Timur Tengah, dalam akun media sosialnya, mengadvokasi aktifitas ciuman bagi remaja. Entah dari kitab mana atau ulama salaf mana, ia menulis bahwa berciuman dengan nonmahram adalah sedekah.
Ustadz muda ini dengan pedenya mengatakan bahwa berciuman dengan non-mahram selama tidak mengganggu ketertiban umum bukan termasuk kemungkaran. Ia mengatakan bahwa berciuman dengan non-mahram bukan termasuk zina adalah pendapat fiqih, bukan syariah. Menggelikan karena sang ustadz muda ini sama sekali tidak mencantumkan rujukan kitab kuning mana atau pendapat ulama madzhab mana untuk menguatkan pendapat ngawurnya itu. Tapi kita tidak usah heran karena ia dengan bangga menyatakan diri sebagai pengikut gerombolan liberalisme.
Kelompok kedua ini juga duduk di pemerintahan dan mengusahakan agar konstitusi menghormati apa yang mereka namakan sebagai kebebasan dalam hak reproduksi. Tahun lalu misalnya dunia pendidikan juga dibuat kaget dengan dimuatnya materi teknik pacaran sehat dalam buku pelajaran SMP. Entah siapa dan bagaimana caranya materi murahan dan ‘gila’ semacam ini bisa masuk dalam kurikulum.
Publik bisa membaca dari ngototnya seorang menteri kabinet lalu yang memaksakan program kondomisasi dan melegalkan prostitusi. Atau di kabinet sekarang begitu gigihnya pemerintah mengupayakan naiknya usia pernikahan bagi kalangan muda dengan alasan klasik; nikah dini itu bermasalah. Tapi, apakah pacaran dan hamil dini itu tidak bermasalah, Bu?
Rasa-rasanya, berbagai temuan seks pranikah remaja, kehamilan dan aborsi di kalangan remaja, dan pelacuran di tingkat remaja, sudah terlalu sering diangkat ke permukaan. Kita pun sudah percaya ini adalah problem sosial akut, tapi solusi yang diberikan tak pernah menyentuh akar masalah. Alih-alih memberikan solusi, justru menambah persoalan bangsa.
Solusi yang diberikan justru mengakomodir para pecinta kerusakan moral dan disukai dunia industri. Karena cinta dan seks dalam budaya hedonisme-liberalisme sudah menjadi komoditi bagi dunia industri. Merekalah yang paling getol mempromosikan budaya Valentine kepada kawula muda. Soal moral – apalagi dosa – tidak masuk dalam hitungan bisnis. Kita pun dikejutkan dengan maraknya penjualan coklat berhadiah kondom, atau hotel-hotel yang menawarkan diskon spesial bagi pasangan yang akan menginap untuk merayakan Valentine.
Kita patut curiga ada grand design terhadap keluarga dan remaja muslim di tanah air. Mereka terus menerus dibombardir dengan budaya hedonisme dan kebebasan seksual. Dari soal pakaian hingga hubungan pergaulan.
Sekarang kembali pada umat, apakah masih akan berdiam diri dalam cengkraman budaya liberal semacam ini, ataukah ada keinginan untuk berlepas diri dan menuju sistem kehidupan yang lebih manusiawi, dan pastinya diberkahi Allah, yaitu Islam. Bila kita berharap remaja kita memiliki masa depan yang cerah, maka tak ada pilihan lain kecuali kembali pada tata nilai yang bersih dan suci, yaitu syariat Islam.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(QS. Ar-Rum: 30).
Leave a Reply