Gerakan Anti Hoax, Demi Kejujuran Atau Politis?

snopes-fake-news-sitesSemenjak masyarakat mabuk media sosial, ada kegemaran baru yang berkembang; penyebaran hoax. Gambar atau berita palsu yang kini disebut hoax seperti menjadi budaya baru di tanah air, menyaingi meme yang juga bertebaran di media sosial.

Dalam dictionary online cambridge dijelaskan hoax adalah a plan to deceive someone (http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hoax). Sedangkan menurut Meriem-Webster’s Dictionary online yang dimaksud dengan hoax adalah; to trick into believing or accepting as genuine something false and often preposterous.

Sudah banyak yang jadi korban hoax. Mulai dari orang umum sampai pejabat negara. Bisa dengan niat lucu-lucuan sampai serius ingin menyerang atau menjatuhkan martabat orang lain.

Aktifitas hoax sebenarnya bukan saja terjadi di media sosial dunia maya, tapi lebih luas lagi. Bahkan di tahun 1957, seorang wartawan pernah meliput berita hoax tentang satu keluarga di Swedia yang bercocok tanaman spagheti. Acara ini bahkan ditayangkan di BBC, dalam segmen Panorama. Kontan ribuan orang mendatangi lokasi tersebut dan menanyakan cara menanam pohon ‘jadi-jadian’ itu.

Hoax berpotensi merugikan seseorang atau lembaga secara moril maupun materiil. Pada gejolak reformasi 1998, bank BCA kolaps akibat kabar hoax kalau pemiliknya, Liem Siau Liong, mati mendadak. Rush pun di semua kantor cabang BCA yang mengakibatkan bank terbesar itu kolaps dan masuk perawatan BPPN.

Karenanya kita sepakat kalau hoax sebagai berita yang menipu adalah kejahatan, baik itu untuk sekedar gurauan apalagi ada niat politik dan ideologis. Hukumnya haram dalam Islam. Rasulullah SAW. mengkategorikan munafik orang yang suka berkata bohong (hoax).

Namun di zaman penuh rekayasa berita dan kebijakan politik ini, kita perlu bertanya; apakah gerakan nasional anti-hoax itu murni untuk menghapus budaya hoax atau sebenarnya juga ditujukan untuk membungkam saluran informasi alternatif untuk massa.

Publik harus sadar, bahwa hari ini hampir tak ada media massa yang netral, minus tendensi politik dan ideologi dalam pemberitaan. Bahkan sejumlah media massa dikuasai petinggi-petinggi parpol. Bukankah ini rawan untuk dijadikan alat propaganda kepentingan politik mereka?

Ambil contoh, pemberitaan dari kantor berita Antara yang menyebutkan Bloomberg menobatkan Jokowi sebagai presiden terbaik Asia-Australia 2016 (lihat link: http://www.antaranews.com/berita/604316/bloomberg-jokowi-pemimpin-terbaik-asia-australia-2016). Ternyata berita ini tidak benar.

Bloomberg dalam laporannya tidak pernah menuliskan kalau mantan gubernur DKI Jakarta itu adalah pemimpin terbaik. Bloomberg hanya mencantumkan kinerja sang presiden yang berada di atas rata-rata pemimpin lain di Asia-Australia. Tapi tidak ada frase ‘presiden terbaik’. Semestinya bila dikatakan terbaik maka ada kriteria yang terukur untuk memberikan status demikian.

Tapi mereka yang paham konstelasi politik media paham betul mengapa kantor berita Antara menurunkan tulisan itu. Karena komisaris kantor berita nasional itu adalah salah satu politisi pendukung dan ‘relawan’ tim sukses sang presiden; Boni Hargaens. Bukankah berita seperti itu akan menguntungkan majikan mereka yang citranya terus merosot?

Media massa mainstream adalah penjaga gerbang lalu lintas informasi untuk publik. Ibarat penjaga pintu dam, mereka bisa mengatur kapan arus harus dikencangkan, dikecilkan, atau diredam sama sekali. Ini yang disebut sebagai agenda setting oleh media massa.

Media massa juga bisa melakukan framing. Memberitakan sebuah kejadian dari prespektif tertentu. Ambil contoh kasus pemberitaan agenda umat 4/11 dan 2/12 tahun lalu, berbagai media punya pandangan berbeda. Ada yang nyinyir dengan memberitakan sudut negatif seperti sampah atau mengecilkan jumlah peserta, ada juga yang berusaha netral.

Apakah dengan begitu media massa melakukan hoax? Tidak! Tapi mereka mensetting pemberitaan demi perspektif mereka. Mereka ambil angle dan narasumber yang membenarkan sudut pandang mereka, dan akan membuang yang bertentangan dengan mereka. Metrotv misalnya, menyikapi kasus Ahok dan aksi umat Islam lebih dominan menghadirkan narasumber tokoh-tokoh kontra aksi umat. Sejumlah narasumber beraliran sekulerisme-liberalisme dimintai pendapatnya.

Berbeda dengan agenda tanggal 4/12 yang mengusung misi kebhinekaan, Metrotv tidak mengungkap sisi yang tidak menguntungkan perspektif mereka, semisal sampah yang tumpah ruah dimana-mana, taman-taman yang hancur diinjak massa, atau bagi-bagi uang bagi peserta. Hal itu tidak mereka beritakan. Sekali lagi demi perspektif media tersebut. Inilah framing pemberitaan.

Karenanya, gerakan anti-hoax ini perlu menjadi rawan kepentingan politik penguasa. Kebijakan ini bisa mematikan kanal informasi yang fair bagi publik, yang selama ini sulit didapatkan sebelum era informasi dunia maya. Dulu media massa menjadi raja informasi. Merekalah yang menggoreng berita menurut kepentingan mereka atau siapa saja yang mereka bela.

Namun semenjak era informasi di dunia maya melesat, publik akrab dengan media sosial dan bisa mendapatkan akses berita dari sudut yang lain yang tak diberitakan di media massa. Dengan penduduk mencapai 256 juta, pengguna internet di Indonesia tahun 2016 mencapai 132 juta pengguna dan 97,4% atau 129,2 juta merupakan pengguna medsos (Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet/APJII tahun 2016).

Ini bukan saja mengurangi kedigdayaan media massa mainstream, tapi membuat publik menjadi semakin berhati-hati bahkan menjauhi media massa  yang dicurigai melakukan rekayasa pemberitaan.

Maka, gerakan anti-hoax sebenarnya bisa mengancam nalar kritis publik. Dengan berlakunya UU ITE orang yang dituduh menyebarkan berita hoax bisa diseret ke meja hijau.

Padahal, siapa yang bisa menentukan dengan akurat sebuah berita hoax atau bukan? Untuk hal yang bisa langsung diraba oleh publik kebenaran informasinya, orang akan segera meninggalkan kabar hoax, tapi bagaimana dengan berita yang kejadiannya cepat menghilang? Saksi matanya minim? Ketika kejadian itu disebarkan ke media sosial, apakah kemudian dinyatakan hoax? Lagi-lagi pemerintah punya otoritas untuk menetapkan apakah suatu berita itu hoax atau bukan. Dan bila berita itu sebenarnya membongkar kebusukan negara, dengan mudah kabar itu akan dinyatakan hoax.

Banyak peristiwa yang sulit dicek kebenarannya oleh publik, khususnya menyangkut kepentingan umat Islam. Soal aksi terorisme,  misalnya, sampai hari ini sulit untuk mendapatkan kabar yang shahih; siapa sebenarnya para pelakunya, apa motifnya, benarkah tidak ada sutradara di belakang mereka, dll.

Gerakan tolak hoax dan UU ITE soal hoax ini bisa berlaku totaliter bagi rakyat. Karena, bisakah media massa dipidanakan karena menyiarkan berita yang penuh framing? Yang merugikan kelompok tertentu? Atau berita hoax?

Atau bisa atau tepatnya maukah aparat menindak pemilik akun media sosial pro rezim yang sering menyebarkan hate speech pada lawan-lawan politik, atau yang mengkritisi penguasa? Padahal status mereka seringkali sadis.

Dan bila negara juga melakukan framing pemberitaan dan menyiarkan kabar yang tidak sepenuhnya benar, bisakah dituntut oleh publik? Sulit kelihatannya.

Karenanya menyikapi gerakan anti-hoax, melegakan tapi juga patut harus diwaspadai. Bukan tidak mungkin ini kebijakan kuda troya yang berisi kepentingan kalangan tertentu. Apalagi di beberapa negara media sosial sudah ditutup. Hari ini di tanah air pengawasan terhadap media sosial semakin diperketat. Orang yang diduga menyebarkan kabar hoax bisa mudah diciduk aparat, padahal belum tentu kabar itu adalah hoax.

Hanya ada satu kata; kritis dan tetap lantang menyuarakan perlawanan, tetap berdiri memperjuangkan Islam meski hanya lewat media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.