Seharusnya Negara Adalah ‘Ayah’ Bagi Para Remaja

youthInisialnya APW, baru 13 tahun. Ia adalah remaja belia anggota gerombolan pembegal. Pelajar ini membegal di kawasan Depok. Tapi siapa sangka kalau APW selama ini anak yang rajin, disiplin di sekolahnya dan juara kelas. Ironi atau anomali?

APW tidak sendirian. Masih ada lagi sejumlah remaja yang ditangkap polisi di berbagai wilayah di tanah air karena menjalani ‘profesi’ sebagai pembegal di usia belia. Sebagian dari mereka ceritanya mirip APW; baik dan rajin bersekolah.

Begal belia kini jadi perbincangan sampai kemudian nanti tertutup isu lain di negeri yang penuh dengan segudang masalah. Faktor kemiskinan, gaya hidup dan miskinnya peran agama bagi para remaja adalah kombinasi yang lengkap membuat sebagian remaja Indonesia berada di jalur kekerasan. Di usia yang eksistensi diri menjadi amat penting, ingin diakui, ditambah darah muda yang gampang mendidih, membuat kekerasan menjadi bahasa dan gaya hidup yang gampang diakrabi kawula muda.

Hidup yang semakin sulit membuat sebagian remaja di tanah air tampil sebagai pihak yang ‘kalah’. Mereka tidak bisa makan di restoran franchise seperti kawan-kawan mereka yang ekonominya lebih baik. Mereka juga tidak bisa membeli gadget mahal seperti remaja lain. Memakai sepatu branded, uang jajan yang berlimpah, dan nonton konser artis mancanegara.

Godaan ekonomi seperti ini yang menjadi peletup kekerasan sebagai jalan hidup. Para pemuda pembegal, gank motor dan aksi tawuran adalah bagian ekspresi mereka di dunia hitam.

70837_620

Fakta ada remaja yang menjadi pembegal memang membuat pejabat pemerintah gerah. Tapi kita tahu, reaksi itu kalaulah bukan pencitraan, tapi biasanya reaksioner belaka. Aksi sesaat tanpa program jangka panjang untuk menyelamatkan dan melejitkan potensi anak-anak bangsa. Hangat-hangat martabak.

Karena di negeri ini kita sudah terbiasa melihat penguasa bereaksi sesaat sebelum kemudian mereka dan juga rakyat dibuat lupa dengan munculnya persoalan baru yang membuat kita lupa bahwa persoalan yang lama mengantri tak kunjung diselesaikan.

Selain itu, pola penyelesaian yang dilakukan pemerintah selalu kuratif. Mengobati penyakit dan bukan mencegahnya. Begal diselesaikan dengan penegakkan hukum, bukan mencari akar persoalannya. Padahal para remaja itu pelaku sekaligus korban. Korban dari kejamnya sistem sekulerisme-kapitalisme-liberalisme yang diberlakukan di negara ini. Sekulerisme telah merampas peran agama sebagai pedoman hidup para remaja. Membuat banyak remaja di tanah air menjadi budak hedonisme. Pencari kepuasan fisik. Gadget, motor, uang jajan, fashion, selebriti, termasuk maaf seks bebas sudah jadi bagian dunia remaja kita hari ini.

Sejak anak-anak, banyak remaja di Indonesia dijauhkan dari konsep halal-haram. Taat pada Allah, ingat akan mati, ingat akan Hari Akhir, dsb.

Kapitalisme-liberalisme membuat rakyat harus hidup dalam kredo survival of the fittest. Yang kuat layak mendapatkan yang terbaik. Banyak remaja yang putus sekolah atau melanjutkan di sekolah yang ala kadarnya, karena keterbatasan ekonomi. Orang tua mereka tidak mampu menyekolahkan ke tempat yang lebih baik dan jenjang yang lebih tinggi.

Lebih buruk lagi, banyak remaja kehilangan kepribadian Islam mereka. Tidak kenal tujuan dan aturan hidup yang benar; Islam. Mereka tidak tertarik untuk mendalami ajaran Islam dan menjadi muslim yang taat. Karena dalam kehidupan liberal di alam Indonesia, agama adalah urusan pribadi. Bukan domain masyarakat apalagi negara.

Padahal remaja adalah aset sebuah bangsa. Bukan hanya aset dan harapan keluarga. Seperti kata pepatah; student today leader tomorrow. Shibyan al-yawm Rijal al-ghad (remaja sekarang, pemuda di masa depan). Apa yang bisa kita harapkan di masa depan bila para remaja kita dominan terpuruk dalam sekulerisme dan liberalisme? Para pejabat negeri ini yang hari ini mendekam dalam penjara, menjadi politisi busuk, liberal dan anti-Islam, adalah produk pembinaan di masa lalu.

pelajar

Aneh bila kemudian negara tidak mau mengambil peran sebagai ‘ayah’ yang baik bagi para remaja. Berlepas diri dari usaha keras membesarkan ‘anak-anak’ mereka. Negara harusnya menjamin remaja di tanah air tidak putus sekolah, bebas dari kemiskinan, steril dari sekulerisme-liberalisme.

Banyak keluarga belum menyadari jikalau peran negara jauh lebih besar dibandingkan para orang tua. Khususnya dalam menciptakan pranata sosial yang positif dan Islami. Ayah dan ibu hanya bisa melindungi dan mengedukasi anak-anak mereka selama masih berada dalam kehidupan keluarga, namun saat remaja menginjak halaman lingkungan sosial maka negara semestinya menjadi ayah bagi mereka. Menjaga mereka dan memenuhi kebutuhan mereka sebaik-baiknya. Nabi saw. bersabda:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Sesungguhnya Imam/kepala negara itu adalah perisai; (orang) berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.”(HR. Bukhari).

Sayang kredo sekulerisme-liberalisme sudah membutakan mata negara dan penguasa. Mereka hanya mau berperan seminim mungkin – kalau tak dibilang tak ada – dalam mengayomi dan mengasuh remaja. Generasi muda kita dibiarkan dalam budaya hedonisme yang difasilitasi negara; izin konser musik, bacaan-bacaan sekuleristik, film-film Hollywood, dsb.

Sekali lagi, negara adalah ayah bagi remaja. Induk semang terbesar bagi rakyatnya. Bila negara abai dan menelantarkan mereka, maka tunggulah hasilnya di masa depan. Kelak akan semakin banyak para pemimpin yang tak amanah, serakah, culas, dan anti-Islam.

Maka sudah saatnya menghancurleburkan sekulerisme-kapitalisme-neoliberalisme dari sendi-sendi kehidupan umat. Ubah mindset umat dan para pemimpin negeri ini bahwa Islam harus menjadi asas dan peraturan dalam kehidupan bernegara. Hanya dengan itu anak-anak dan remaja di tanah air akan terselamatkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.