Lawan Predator Anak!

child 2Ah, hati orang tua risau membaca kasus pelecehan seksual terhadap seorang siswa TK di Jakarta. Saya pun demikian. Saya punya empat orang anak. Paling terbesar kelas 1 SMP dan yang bungsu berumur 3 tahun lebih. Berkali-kali saya dan istri membahas ancaman kejahatan seksual pada anak-anak, karena para predator bocah itu bisa berada di mana-mana dan bisa siapa saja jadi pelaku. Para predator itu bisa bisa ada di lingkungan rumah, sekolah, bahkan pondok pesantren sekalipun. Pelakunya bisa tetangga, kerabat, guru dan juga ustadz!

Saya bergidig ngeri. Dulu hidup terasa begitu aman, tapi sekarang nyaris dibelit kekhawatiran setiap hari. Tadi pagi kerabat istri bercerita kalau bocah perempuannya suka diciumi teman bermainnya. Beberapa hari lalu kerabat yang lain cerita ada bocah perempuan tetangganya yang dicabuli bapak-bapak yang juga masih tetangga dekat. Korban dicabuli ketika bermain bersama anak si bapak itu. Innalillahi wa inna ilayhi rajiun.

Dunia sekarang menyebutnya kaum pedofil. Korbannya tak pandang anak perempuan atau lelaki, yang penting anak-anak prapuber atau yang lebih muda. Maka, punya anak perempuan atau anak lelaki jaman sekarang sama-sama membuat cemas. Siapa saja bisa jadi korban para pemangsa keji ini.

Kaum pedofil ini jelas orang ‘sakit’. Mereka tak punya belas kasihan dan tak punya rasa takut pada dosa. Mereka juga tak berpikir seandainya anak mereka menjadi juga jadi korban. Tapi tak ada asap kalau tak ada api. Mengapa kian hari kian marak predator anak ini?

Pertama, sudah jelas makin gampangnya orang mengakses pornografi. Kecanggihan dan kian murahnya beragam gadget membuat siapa saja mudah mendapatkan konten pornografi sebanyak-banyaknya. Bukan sembarang pornografi, tapi konten pornografi yang makin ‘brutal’ – istilah saya – gampang ditemui. Termasuk menjadikan anak kecil sebagai obyek seksual. Dampaknya bisa ditebak; pelaku menjadi porn addict dan akhirnya mencari pelampiasan. Korban yang paling mudah disasar adalah anak kecil. Mereka mudah dibujuk, diancam, atau dibunuh sekalian.

Kedua, rangsangan seksual bukan saja dari konten pornografi tapi dari penampilan banyak wanita yang senang memakai busana minim dan ketat. Pria dewasa normal akan terangsang dan sebagian dari mereka akan mencari pelampiasan hasrat seksualnya. Lagi-lagi, korban yang paling gampang disasar adalah anak-anak.

Ketiga, keteledoran orang tua memberikan pakaian minim kepada anak-anak perempuan. Banyak bocah perempuan didandani dengan pakaian tanktop, rok mini, dsb. Ini menimbulkan godaan bagi kaum pedofil untuk menyasar mereka. Orang tua seharusnya memberikan pakaian yang wajar, lebih baik lagi menutup aurat kepada anak-anak laki atau perempuan sekalipun mereka belum baligh.

Keempat, orang tua lengah dalam mengawasi lingkungan pergaulan anak. Untuk urusan ini saya angkat tangan bagi pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja. Karena bagaimana bisa mereka mengawasi lingkungan bermain dan sekolah anak kalau keduanya – khususnya sang ibu – seharian tak bersama anak, lalu mempercayakan begitu saja pada sekolah, tempat penitipan anak, dsb.?

Maraknya kejadian ini harusnya membuat para ibu berpikir sepuluh ribu kali untuk tetap ngotot mengejar karir. Buat apa karir meroket, income berlimpah tapi anak disasar kaum pedofil, karena Anda tak pernah tahu lingkungan pergaulan mereka. Singkat saja, saya ingin mengatakan mulailah menata ulang hidup Anda para ibu, jadikan pendidikan anak dan keluarga sebagai prioritas dalam hidup.

Kelima, orang tua tidak membekali anak etika pergaulan. Sekalipun masih kanak-kanak, orang tua sudah semestinya mengajarkan rasa malu bila aurat mereka terlihat, ajarkan juga dimana tempat membuka pakaian, larangan mencium dan dicium lawan jenis, termasuk berani bercerita bila ada orang yang berani memegang organ kelamin mereka.

Terakhir saya ingin speak out, kita harus melawan kaum predator ini. Jangan ada orang tua yang bungkam melawan mereka. Siapapun pelakunya: Lawan!

Selain itu kitapun harus melawan budaya liberalisme di tanah air. Berbagai kebebasan sudah menjadi petaka bagi kita semua. Kebebasan informasi juga turut membuka keran pornografi yang berdampak nyata pada mental sebagian warga. Kebebasan perilaku dalam budaya ini adalah petaka bagi masyarakat, khususnya kaum lemah seperti anak-anak. Jadi, masih betah hidup di alam liberal seperti ini? Bukankah sudah saatnya kita melawan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.