Ketika Suara Ulama Seharga Suara Pelacur

objective-moralityJelang pesta demokrasi 2014 berbagai isu panas soal calon legislatif mulai bermunculan. Di antaranya pro-kontra model seksi sebagai caleg. Sebagaimana diketahui sejumlah nama selebritis yang dikenal khalayak sebagai artis atau model panas diusung beberapa parpol untuk menjadi caleg mereka. Pandangan miring pun mulai dilontarkan sejumlah kalangan terutama menyangkut soal moral dan kredibilitas. Tapi partai-partai itu bergeming. Pencalonan tetap berjalan.

Kontroversi persoalan moral dalam sistem demokrasi sebenarnya tidak akan terjadi bila sistem demokrasi dijalankan secara totalitas dan konsekuen. Sistem demokrasi memang tidak mensyaratkan moralitas dan kredibilitas bagi setiap politisi yang akan terlibat di dalamnya. Apalagi bila hanya menyangkut persoalan yang bersifat pribadi semacam pornografi. Itu tidak masuk hitungan. Asalkan diterima oleh publik, bintang porno sekalipun boleh terlibat dalam pemerintahan.

Banyak negara membuktikan sejumlah mantan bintang film porno cukup sukses menggalang suara dari publik. Mereka menjadi anggota partai politik, anggota parlemen bahkan sebagian lagi ikut ‘memburu’ sejumlah jabatan politik di pemerintahan. Beberapa negara yang anggota parlemennya diisi bintang film porno adalah AS, Italia dan Rusia.

Jangankan bintang film porno, germo sekalipun boleh mencalonkan diri sebagai anggota parlemen seperti yang terjadi di Thailand. Di negeri gajah putih itu seorang pria yang dikenal sebagai mucikari kelas kakap ikut mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Dalam kampanyenya ia bersumpah akan memerangi korupsi.

Tidak disyaratkannya moralitas dalam sistem demokrasi juga kentara jelas dalam skandal perselingkuhan Presiden AS Bill Clinton-Monica Lewinsky. Kala itu Clinton lolos dari impeachment sekalipun telah terbukti berselingkuh. Skandal perselingkuhan mutakhir yang dilakukan seorang kepala negara adalah oleh Presiden Prancis Francois Hollande. Sang Presiden mengakui ia telah menjalin hubungan rahasia dengan bintang film Prancis Julie Gayet dan memilih berpisah dengan pasangannya Valerie Trierweiler. Padahal Valerie Trierweiler sendiri adalah pasangan kumpul kebo Hollande.

Dipinggirkannya syarat moral terutama skandal asusila sebenarnya juga berlaku di tanah air. Empat tahun silam saat Mendagri Gamawan Fauzi mengajukan syarat moralitas dan tidak memiliki cacat asusila bagi calon peserta pilkada sejumlah parpol besar menolak[i]. Bagi mereka moral urusan pribadi, apalagi persoalan asusila itu terlalu privasi. Mayoritas parpol dan politisi, juga pengamat politik lebih mensyaratkan calon kepala daerah atau caleg tidak bermental korup, selain itu tidak jadi masalah[ii]. Seperti sikap seorang penyanyi dangdut yang pernah terlibat skandal video mesum dengan petinggi partai Golkar, ia pernah berminat mencalonkan diri sebagai calon wakil Bupati Sidoarjo. “Semua warga negara mempunyai hak yang sama baik itu pelacur sekalipun untuk apapun,” tegasnya.[iii]

Inilah demokrasi. Siapapun berhak mencalonkan, dicalonkan juga memberikan dukungan. Pelacur sekalipun punya hak untuk itu semua. Kemuliaan seseorang bukan ditentukan oleh moralitasnya, tapi oleh popularitasnya. Pelacur yang terkenal dan lebih disukai publik lebih baik ketimbang ulama yang ikhlas tapi tak disukai orang.

Dalam demokrasi suara ulama seharga dengan suara pelacur. Aktivis dakwah malah bisa kalah oleh mucikari, bandar judi, atau bintang porno. Di sini yang berlaku bukan akhlak atau halal-haram. Semua ditentukan oleh suara. One man one vote. Seperti kritik Muhammad Iqbal penyair muslim asal Pakistan kepada sistem ini, “Demokrasi hanya memperhitungkan jumlah kepala, bukan isi kepala.”

Tentu jauh berbeda dengan sistem Islam. Bak langit dengan bumi. Dalam Islam integritas seseorang ditentukan oleh keterikatannya pada hukum syara, termasuk dalam akhlak, bukan sekedar ia tidak korupsi. Dalam Islam seorang koruptor, pelacur, perampok sama maksiatnya, sama berdosanya. Semuanya tak layak diberikan amanah kepemimpinan atau perwakilan.  Di dalam al-Quran Allah SWT. memerintahkan kaum muslimin untuk memilih orang-orang yang adil sebagai saksi. Bila untuk saksi saja harus orang yang adil, apalagi untuk urusan umat Islam seperti anggota majlis ummat atau kepala negara. firmanNya:

Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.(QS. ath-Thalaq: 2).

Dahulu para Khulafa ar-Rasyidin pun tidak sembarangan memilih orang-orang yang akan diajak bermusyawarah atau duduk di Majlis Ummah. Mereka memilih yang terbaik di antara yang terbaik. Hanya sebagian sahabat yang dianggap ashlah (paling kredibel) yang diajak duduk bermusyawarah oleh mereka.

Maka, sungguh heran bila ada orang yang dapat menikmati demokrasi. Padahal dalam ajaran dan prakteknya sungguh tidak pantas untuk dinikmati kaum muslimin. Di dalamnya bukan saja dicampuradukkan antara kemaksiatan dan ketaatan, tapi ketakwaan bisa dilibas secara konstitusionil oleh kebatilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.