Candle in The Storm?

candle‘Lebih baik nyalakan sebatang lilin ketimbang hanya merutuki kegelapan’. Daripada terus menerus melaknati kebobrokan kapitalisme dan demokrasi, lebih baik melakukan perbaikan-perbaikan kecil demi kemaslahatan. Tapi bisakah lilin terus menyala di tengah badai?

Tulisan saya soal Eliyas dan Ibas mengundang sedikit kegaduhan di jejaring sosial. Ada yang keberatan dengan beberapa konten tulisan tersebut. Sebagian teman-teman pembaca merasa tulisan itu terlalu ‘kejam’ terhadap demokrasi dan dianggap terlalu ‘membabi buta’ menghantam demokrasi.

Bagaimanapun juga ada yang masih ada yang menaruh harapan bahwa dalam demokrasi ada seberkas cahaya. Sebagian lagi berpikir bahwa ada yang masih bisa dilakukan dalam keadaan sekarang ketimbang sekedar merutuki demokrasi. Better light a candle than curse the dark!

Ya, ungkapan lilin dan kegelapan memang sering dilagukan untuk mengingatkan kita semua bahwa jangan berpikir all or nothing. Semua atau tidak sama sekali. Ada perbaikan parsial yang bisa dilakukan dalam sebuah sistem yang buruk.

Kita masih bisa menolong pasien yang miskin dengan membantu biaya mereka, misalnya. Atau membantu memberikan beasiswa bagi siswa yang tak mampu, menggerakkan remaja untuk melakukan berbagai kegiatan positif. Tidak melulu menyalahkan sistem lalu mengandai-andai bahwa bila sistem ini dihancurkan dan diganti dengan yang lebih baik, maka semua persoalan itu tidak akan ada. Sehingga kita tidak melakukan apapun dengan hal yang semestinya bisa dilakukan.

Dalam beberapa hal pemikiran ‘lilin dan kegelapan’ mengandung kebenaran. Sebagai muslim tidak pantas kita berdiam diri melihat tetangga yang kelaparan, atau hanya memberikan taushiyah kepada agar sabar dan menjelaskan keindahan hidup seandainya Islam dan khilafah ditegakkan. Tentu saja itu sikap yang tidak benar, karena Rasulullah saw. bersabda:

ما آمن بي من بات شبعان وجاره جائع إلى جنبه وهو يعلم به

“Tidak beriman kepadaku siapa saja yang tidur kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan di sebelahnya sedangkan dia mengetahuinya.”(HR. Thabraniy dan al-Bazzar).

Membantu hajat hidup sesama umat manusia – tidak hanya muslim – tidak perlu menunggu khilafah berdiri. Dalam keadaan apapun kita diperintahkan untuk melakukannya.

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Seorang muslim adalah saudara sesama muslim, tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh, siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan siapa saja yang melepaskan beban dari seorang muslim maka Allah akan melepaskannya dari beban di Hari Kiamat, dan siapa yang menutupi aib saudaranya  niscaya Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat.”(HR. Muslim).

Dalam sejarah perjuangan dakwah Nabi saw. kita pun membaca kedermawanan Abu Bakar ash-Shiddiq membebaskan para budak yang beriman – termasuk Bilal – dari para majikan mereka yang musyrik. Sehingga beliau digelari ‘Atiq – sang pembebas – dan dipuji Allah dalam surat al-Layl ayat 17-21. Beliau melakukan itu ketika dakwah masih berada di fase Mekkah di mana Daulah Islamiyyah pertama belum berdiri.

Tidak perlu menunggu khilafah untuk berbuat kebajikan. Karena memang banyak perintah Allah yang bisa dan wajib kita kerjakan secara individual. Menolong orang sakit, bersedekah kepada kaum fakir, memberikan pekerjaan kepada yang menganggur, dsb. itu adalah gambaran bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan menyeluruh. Ada bagian dari ajarannya yang menyangkut hubungan antarindividu yang tidak terikat dengan institusi pemerintahan atau lembaga apapun. Bila itu yang dimaksud sebagai ‘candle in the dark’, maka saya setuju. Seorang muslim yang memperjuangkan khilafah dan syariat bukanlah seorang pelaku escaping. Melarikan diri semua persoalan kepada khilafah. Dia akan turun mengerjakan kewajibannya sebagai individu muslim di manapun dan kapanpun.

Tapi bila kemudian ‘candle in the dark’ menjadi solusi bagi banyak  – tidak usah seluruhnya – persoalan umat, maka kita sudah jatuh pada simplikasi masalah. Terlalu menyederhanakan persoalan umat. Ambillah contoh persoalan umat seperti pelayanan kesehatan yang buruk bagi warga miskin tidak begitu saja tuntas dengan bantuan infak sedekah. Karena persoalannya bukan sekedar kemiskinan, tapi karena kebijakan makro kesehatan yang memang buruk. Misalnya mengapa pemerintah mengalokasikan dana kesehatan dalam APBN dalam jumlah minim? Rata-rata hanya 2 % setiap tahun? Akibatnya banyak rumah sakit pemerintah yang terbatas ruang perawatannya, jumlah tenaga medisnya dan peralatan medisnya. Ini juga mengakibatkan sejumlah dokter berpraktek di banyak tempat, dan terkadang mendahulukan tempat prakteknya ketimbang sebagai dokter pemerintah.

Kita mungkin bisa berpatungan mengongkosi tetangga kita yang miskin untuk berobat, tapi bisakah kita berpatungan agar rumah sakit menambah jumlah ruang rawat inap, jumlah dokter dan peralatan medis? Bisakah kita berpatungan agar obat-obatan dapat dibeli semua warga miskin.

Kita bisa berpatungan menolong warga yang kesulitan mendapatkan akses PAM ke rumahnya, tapi bisakah kita membangun sendiri saluran air bersih bagi dia, juga bagi orang miskin lainnya?

Kita bisa memberi beasiswa bagi satu atau mungkin sepuluh siswa miskin agar mereka bisa bersekolah. Tapi bisakah kita berpatungan membangun berpuluh-puluh sekolah yang berkualitas lengkap dengan gurunya yang berkualitas, dan semuanya free, tanpa perlu membayar ini dan itu?

Lilin adalah lilin. Ia bisa menyala dan menerangi tapi dalam ruang lingkup yang amat kecil. Durasi nyalanya juga terbatas. Begitupula kekuatan kita sebagai individu dalam masyarakat juga amat terbatas untuk menghadapi persoalan makro masyarakat. kalaupun ada yang bisa diselesaikan itu hanyalah persoalan sub-sub-sub-mikro-nya.

Barangkali ada yang bercanda; kalau semua orang menyalakan lilin nanti kan jadi terang benderang semua. Hehehehe. Kenyataannya tidak semua orang memiliki lilin. Banyak orang terbelit dengan persoalannya masing-masing. Lagipula yang tengah dihadapi oleh umat bukan kegelapan biasa, tapi kegelapan yang diisi dengan badai. Maka lilin-lilin yang akan dinyalakan akan cepat padam sebelum terangnya dan hangatnya dirasakan oleh banyak orang.

Kita menghadapi persoalan yang tidak muncul dari internal umat, tapi juga menghadap ghazwul fikri, imperialisme di bidang politik , ekonomi, militer, pertanian, kesehatan, dll. Barat dengan skenario perdagangan bebasnya bisa menguasai pasar-pasar negara dunia ketiga, menghancurkan industri dan pertanian lokal tanpa pembelaan dari pemerintah yang bersangkutan. Lihat saja petani tebu, peternak sapi, petani buah yang menjerit karena pasar sudah dibanjiri oleh barang-barang impor yang lebih murah dan mutu lebih bagus. Sedangkan industri lokal dan petani lokal minim mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Inilah badai. Bukan sekedar kegelapan. Maka sudah saatnya semua komponen umat berpikir syar’iy dan logis-politis. Persoalan yang kita hadapi adalah persoalan makro yang membutuhkan solusi menyeluruh bukan parsial semata. Sangat disayangkan bila ada kalangan yang sudah yakin dengan jawaban makro ini lalu malah menggeserkan orientasi geraknya dan pikirannya pada sekedar menyalakan lilin di tengah kegelapan. Padahal ia tahu yang dihadapi adalah badai yang bergemuruh. Solusi yang harusnya dilakukan adalah membangun benteng pertahanan yang kuat sehingga dapat menahan serbuan badai, melindungi umat secara total sehingga barulah kita dapat memberikan cahaya dan kehangatan di dalamnya.  Cahaya yang diberikan juga bukan sekedar lilin, tapi cahaya yang berasal dari pembangkit listrik yang terbesar dan tercanggih yang pernah ada di muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.